WELCOME HOME, UMI! (MUNAS IV FLP BAG 4)

Rabu, November 15, 2017



Beberapa hari menjelang berangkat ke Bandung, saya mengabari teman-teman sekelas waktu kuliah di kampus UPI (dulu IKIP).
Cikgu Penny, sang perekat (karena yang paling telaten mengajak berkumpul jika ada yang ‘mudik’ ke Bandung, menentukan tempat sekaligus waktunya), mulai mengompori teman-teman untuk bertemu, kongkow bareng barang sebentar.
Beberapa merespon dan konfirmasi kehadiran. Cikgu Isun, Cikgu Lia, CIkgu Ocha, bisa hadir, insyaaAllah. Cikgu Kepala Sekolah mendadak ada acara.

Saya menunggu rundown final dari panitia. Karena satu dan lain hal, rundown masih tentatif. Yang ingin saya pastikan adalah jadwal sidang. Ini waktu-waktu krusial.
Disepakati pertemuan hari Jumat sore, pukul 16.30 di Café Roempi. Katanya dekat wisma PU tempat kami menginap.
Pukul satu siang, saya mulai cemas. Khawatir pada waktu yang disepakati, saya tidak bisa keluar. Hujan cukup deras di luar. Hape saya lowbat pula. Tak ada tempat men-charge yang memadai. Semua tititk listrik sudah centang perenang dengan kabel-kabel yang menjuntai, dan hape yang bergelimpangan di sekelilingnya.
Bicara tentang listrik, saya merasa sudah menjadi pelahap listrik. Dalam diklat atau pelatihan, tempat favorit adalah yang terdekat dengan colokan. Masuk ruangan, mata langsung menyapi dinding-dinding. Mencari titik-titik sahabat charger. Dulu saya perlu bawa-bawa kabel panjang sebagai antisipasi jika colokan tidak memadai. Beberapa waktu belakangan ini, panitia diklat sudah menyediakan rangkaian kabel-kable panjang sebagai salah satu fasilitas. Jadi, kabel yang dibawa dari rumah, menganggur.

Kembali ke ruang sidang pleno.
Saya kirim chat ke wa group. Tidak panjang lebar, cukup bilang : “Guys..”
Kata-kata itu cukup sakti untuk menebar kecemasan, rupanya. Cikgu Penny membalas: “Kenapa. Mi? Don’t say there is a change..”
Wah, iya. Kalau saya batalkan, kasihan teman-teman yang sudah bersusah-susah mengatur jadwal. Meluangkan waktu sore hari, sepulang mengajar pula, tentu bukan hal sederhana. Menembus macetnya Bandung (menjelang weekend tuh!) tentu perlu perjuangan pula.

Yang saya pikirkan adalah jika saya ditakdirkan menjadi presidium sidang, apakah cukup waktu untuk bertemu? Jalannya sidang tidak bisa diprediksi. Bisa melar, dan memakan waktu yang lama.
Dan, ternyata memang begitulah. Tugas presidium sidang memang diamanahkan. Walau jadwal memimpin dipergilirkan, saya tidak bisa begitu saja pergi di waktu-waktu penting. Bukan apa-apa, dinamika dalam persidangan itu menarik. Banyak pelajaran di dalamnya. Kemampuan para delegasi dalam Munas ini, menurut saya, di atas rata-rata. Agamanya bagus. Jadi, saya mengharapkan menemukan dialog-dialog bernas sekaligus santun. Kesempatan langka, bukan? Eman-eman kalau kelewatan.

Nah, menjelang pukul lima, saya sudah gelisah. Memperhatikan dinamika dan mengira-ngira, pukul berapa akan kelar. juga berpikir, bagaimana cara pergi ke lokasi dengan kondisi hujan begini. Pukul setengah enam,sidang berakhir. Diskors hingga pukul setengah delapan malam.

Saya melesat keluar ruangan, mencari informasi lokasi dari panitia.
Satu orang akhwat ditanya, tidak tahu.
Satu panitia putra, juga tidak tahu.
Satu lainnya, memberikan ancer-ancer. Kesitu, luruuus, lalu belok situ. Kalau naik angkot, tanggung. Jalan kaki, jauh. Wew, hujan-hujan jalan kaki?
"Naik Grab saja, " saran sebelahnya. Katanya dekat, naik grab, apa tidak mubazir?

Cikgu Penny sudah berikan lokasinya. Persoalannya, hape saya tinggal sebab benar-benar lowbat. Hape kecil, tidak bisa untuk menelepon atau sms. Sedang masa tenggang. Sebab jarang digunakan, saya jadi lupa untuk mengisi pulsa.
Jadi, saya tidak bisa menghubungi teman-teman. Blank.

Ya sudahlah. Nekat saja. Saya berlari ke pinggir jalan, depan wisma. Ada tiga bapak-bapak sedang berdiri di situ.
"Bapak, punten, kalau jalan Anggrek dimana ya? Naik apa dari sini?"
"Oh, di sana, lampu merah keempat, belok deh. belok kanan dan kiri sama-sama jalan Anggrek."
"Angkot apa yang lewat, Pak?"
"Itu aja, yang kuning."
"Lewat depannya? Kalau pulangnya, naik angkot apa?"
"Nggak, Neng. Berhenti di perempatan, jalan kaki ke sana. Pulangnya naik angkot kuning lagi."
"Bukan yang kuning, yang biru," salah satu menyela. Satunya membantah. Satunya kembali menyela. MEreka kemudian berdiskusi tentang naik angkot apa yang tepat. Saya berdiri diam, memperhatikan mereka rapat. Hmm, di ruangan rapat. Di pinggir jalan, lihat orang rapat lagi. Coba say abawa palu, hasil kesepakatan tentang angkotnya bisa disahkan. Diberi konsideran pula. Sah!

Akhirnya, mereka menunggui saya hingga dapat angkot. Tersanjung rasanya, satu emak, ditunggui tiga bapak-bapak nyegat angkot. Terharu.
"Mang, turunkan jalan Anggrek, nya!" Pesan salah satu bapak pak supir. Hatur nuhun, Bapak. Jangan cemaskan saya, yes. I'll be okay.

Di perempatan lampu merah keempat, saya diturunkan.
"Nyebrang situ, Neng. Itu jalan Anggrek," kata supirnya.
Hatur nuhun, Bapak, sudah memanggil saya Neng. Tersanjung, nih.

Saya melompat-lompat, menghindari genangan. Sedikit cemas, jangan-jangan teman-teman saya sudah pada bubar, sebab lama menanti.
Tidak sulit menemukan Cafe Roempi. Ragu-ragu menapaki berandanya, menajamkan telinga. Tidak ada suara perempuan. Yang terdengar percakapn riuh laki-laki. Apa emak-emak itu sudah pulang beneran?

Melewati beranda, dari arah depan, ada tiga ibu-ibu hendak keluar. Khas ibu-ibu. Mereka sibuk bicara entah dengan siapa, di sebelah kirinya. Saya berhenti, memperhatikan lebih seksama. Sekarang mereka berjalan ke arah saya, memandang lurus. Tapi tidak tersenyum. Eh, itu kan emak sejenis akuuuh...
"Haaaaai," saya melambai heboh. "Assalamu'alaikum!"
Emak-sejenis-saya itu memandangi saja sekian detik, lalu melengking suaranya: "Umiiiiiiii." Lalu saya berlari ke depan, mereka juga ke depan. Gaya khas emak-emak, lah. Lalu, bertemu di satu titik. Kami berpelukan, seperti Teletubbies. Aih!
Tiga-emak-sejenis itu adalah Ocha, Lia dan Susan.
"Kami shalat dulu. Itu Penny di dalam."

Drama berpelukan kembali terjadi di dalam, bersama Isun dan Penny. Lupakan usia, lupakan tua. Saat bertemu, kami tetap (merasa) mahasiswa.
Melirik sekilas, para waitressnya senyum-senyum. Jangan ngeledek ya, ntar tua, you bakal seperti kami juga, yes.

Lalu, kumpullah kami bertiga. Saya memandang mereka, mereka memandang saya. Romantis, haha.
Isun mengambil sesuatu, untuk saya, katanya. Kotak dibuka. Taraaa... Berjajar martabak imut (marmut) yang yummy bangeeeeeet. Terharu, hiks. Yang ini asli terharu. Tulisan di marmut itu adalah : Welcome home Umi.
Welcome home. Bandung is my home. Jombang? Jombang is my love. Wehehehe.

Cerita-cerita bertiga, lalu foto. Minta tolong mbak waitres untuk mengambil gambar. Cheeers!
Then, ketiga nyonya yang shalat maghrib muncul. Heboh lagi. Ribut saling menanyakan keadaan. Cerita-cerita lagi. Foto, tentu. Siapa yang menfoto? Mbak-mbak waitress itu lagi!
Terakhir, Tika muncul. Heboh lagi, cerita-cerita lagi, fotoooo! Siapa lagi yang dirayu untuk menfoto? Mbak waitres laaah. Pahalanya sungguh banyak. Membuat para emak-yang-lupa-usia ini bahagia.

Ini foto trio emak:



Ketika enam emak:


Formasi lengkap:


Gembira benar, sampai saya abai dengan fakta: belum mandi! Mandi pagi pukul tiga pagi, dan bertahan hingga pukul setengah delapan.
Saya kembali ke wisma, bergegas. Jadwal sidang menanti.

Alhamdulillah. Bahagianya bertemu, menjadi energi tambahan untuk begadang sampai pukul empat pagi. Ganbatte!

2 komentar:

  1. Merinding baca nya... berasa ikutan meet up mii... :*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kah? Yang cerita lebay yes? hehehe. Btw, ini siapa? Terim kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak..

      Hapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.