ENERGI BERTENGKAR

Minggu, September 16, 2018


“Saya didiamkan, dia manyun ketika bertemu. Apa salah saya?” Keluh Fulanah.
“Tanyakan saja pada yang bersangkutan,” kata saya sambil lalu.
“Iya kalau dia mau bicara. Kalau tidak?”
“Ya, biasanya memang tidak akan bicara, kan?” Saya memasang tanduk, menajamkan taring, dan memoles wajah menjadi kemerahan. Garpu besar saya tusuk-tusukkan kepada Fulanah. Saatnya berubah menjadi…syetan!
“Masa saya dibiarkan saja, ditinggal pergi tanpa disapa,” Fulanah masih curhat. Mestinya dia melihat penampakan saya saat itu. Mendengus-dengus, asap keluar hidung. Eh, itu sih banteng ya.
“Nanti saya lihat kalau bertemu lagi, apa masih begitu,” pungkasnya. Saya kembali ke wujud asal: manusia normal. Menjalankan fungsi sebagai kepala perpus yang sibuk ketik ini dan itu.

Lalu, sehari kemudian.
“Dia masih manyun sama saya. Kenapa, sih?”
“Yaaa, mana tahu. Tanyakan saja. “
“Apa dia dengar sesuatu dari orang lain? Siapa yang mengadu domba?”
“Ngambrak itu. Tanyakan saja langsung, daripada curiga mulu.” Kali ini saya jadi tokoh kartun yang pakai sayap, berjubah putih, tersenyum tulus.
“Kalau dulu dimanyunin, saya tanya langsung : ‘Kenapa? Salahku apa?’ Dan jawabannya : ‘Gak tahu.’ Atau : ‘Gak papa.’ Tapi didiamkan berhari-hari. Pusing saya,” keluhnya lagi.

Ada orang yang demikian kuat bermusuhan. Tidak pakai acara jambak-jambak, atau berkelahi secara fisik. Namun dengan gerakan tutup mulut dan gerakan pantang tersenyum. Kalau ditanya, jawabannya klise: tidak apa-apa. Tapi sikapnya sangat menunjukkan ada apa-apa. Jika cuma sehari dua dimanyunin tidak apa-apa (tidak apa-apa mulu!). Yang repot itu kalau betah berbulan-bulan, bahkan hingga hitungan tahun.
Saya terheran-heran. Kok bisa?
Seorang sahabat psikolog tertawa. “Buktinya bisa!”

Tapi apa enaknya? Bukankah bertengkar bertahun-tahun, dengan teman sekantor pula, itu membuat dada menjadi sempit? Hidup menjadi terhimpit? Coba bayangkan. Hampir setiap hari insyaaALlah akan bertemu, walau sekilas. Ada waktu dimana interaksi harus terjadi karena tuntutan pekerjaan. Lalu jika melengos, memasang bentuk kerucut pada mulut, bersikap tidak peduli, dan enggan menyapa, apa untungnya?
“Itu kan yang berfikir normal, alias waras,” kata rekan saya yang ahli itu. Ahli membaca kepribadian orang. Saya berdekat-dekat dengannya ngeri. Takut segala isi hati terbongkar. Dia memandang orang seperti melihat buku terbuka. Cling, zip! Keluar kalimat-kalimat dalam ‘buku-kepribadian’ orang yang diamatinya itu. Dia ember dong? Tidak laah. Dia menyampaikan tipe-tipe guru dan karyawan di TK saya, sebab memang konsultan urusan sumber daya manusia kami (tsah!)

Apa yang dicari? Apa yang dipertahankan dengan kepala batunya? Seandainya bisa ditanyakan, atau yang bersangkutan bisa cerita apa harapannya, apa keluhannya, mungkin tidak perlu memendam kebencian hingga bertahun-tahun.
“Itu kan kalau normal,” rekan-psikolog itu menggarisbawahi kembali.
“Mengapa demikian?” Saya masih kepo. Serius. Baru kali ini mendengar kisah orang yang mempertahanankan permusuhan demikian kuat. Dia konsisten, istiqomah. Istiqomah manyun. Istiqomah buang muka. Istiqomah tutup mulut. Istiqomah memalingkan wajah ketiak diajak bersalaman. Hitungan tahun pula. Innalillahi.
“Pola asuh. Kepribadian seseorang sebagiannya dibentuk oleh pola asuh. Terutama pola asuh ibu,” tambahnya.
“Bagaimana mengubahnya?”
“Butuh waktu, kadang juga butuh terapi.”

MasyaaAllah. Sering mendengar mengenai pentingnya ‘belajar-berdamai’. Belajar berdamai itu membawa efek kejiwaan yang sangat postif.

Pertama, melatih kemampuan survive, meningkatkan kemampuan berjuang.
Tidak semua kejadian sesuai harapan. Tidak semua harapan terpenuhi. Tidak semua mimpi terwujud. Ada fase-fase dimana Allah tetapkan takdir yang makbedunduk mengecewakan. Kemampuan survive dalam kondisi itu sejatinya membuat kekuatan kita berlipat.

Kedua, meningkatkan kepercayaan diri. Kemuliaan bertambah. Kepercayaan diri meningkat. Hubungan pertemanan harmonis dan hangat. Enak kan jika hidup dilalui dengan cara demikian? Orang normal tentu memimpikan pertemanan yang indah, dan bersahabat. Jumlah teman baik akan meningkatkan kepercayaan diri atas kualitas personal.
‘Temanku baik-baik, insyaaAllah aku aman dengan mereka.’
‘ Temanku sholih-sholih, semoga tertular sholih.’
‘Temanku rajin ibadah, menjadi semangat juga ibadahku. ‘
Normalnya demikian.

Ketiga, melapangkan dada. Semeleh, bahasa jawanya. Tidak mudah terganggu, tidak gampang emosi. Mampu melihat masalah secara jernih dan mencari solusinya dengan kepala dingin. Melihat arus besar persoalan dan tidak terjebak dengan riak-riak kecil yang menipu. Fokus.

Koleris Kuat
Saya pernah mengisi kuesioner tentang kepribadian, dan ternyata saya koleris kuat. Konon kata buku Kepribadian Plus, orang-orang yang berkepribadian koleris kuat punya kecenderungan suka bertengkar. Suka adu argumen. Kelewat pede (Iyakah? Aduh, malu!).
Lalu apa?
Bagi orang seperti saya, butuh usaha besar untuk menahan energi ini. Dalam buku Dear Kitty, Anne Frank menuliskan; bicaralah paling akhir.
Layak dicoba. Menahan diri dari bicara, menunggu momen paling akhir, bisa jadi bahan latihan. Bismillah.

Ibu Guru Umi, masih belajar menahan diri.
Ahad, 16 September 2018. 20.24 WIB, di ABaTa.

3 komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.