KUY, TA'AWUDZ

Senin, November 13, 2017



“Bun, aku dikomentari penjaga toko itu. Katanya, aku ini seperti Bunda, sering menolak diberi kantong plastik,” kata teman.
Saat itu, kami sama-sama sering belanja di toko jalan Gubernur Suryo. Dia dan saya punya kebiasaan menyimpan langsung belanjaan di tas sendiri atau masuk tas anak-anak. Yang lucu, mereka menganggap aneh kebiasaan kami. Itu dua atau tiga tahun lalu. Mungkin di kota kami, usaha ke arah zero waste belum booming.

Nah, berkaitan dengan zero waste ini, saya mau curhat.
Curhatan ini, sebagai respon atas tulisan disini, di blog Mak Haeriah. Judulnya Zero Waste: Gaya Hidup Masa Kini.
Blognya Mak HAeriah ada disini.
Urusan sampah, sungguh ruwet. Tradisi menyampah masih melekat dalam budaya. Budaya ini akan tampak terutama setelah ada acara besar. Misal, di Jombang, jika ada pawai budaya, hal yang menurut saya paling menyedihkan kedua adalah sampah pasca acara. Itu kedua, yes. Yang pertama, jadwal acara pawai yang melewati dua waktu sholat, yaitu Dhuhur dan Ashar.
Melintasi jalan raya setelah pawai, sungguh bikin geleng-geleng kepala. Apa saja tercecer disana-sini. Aneka kantong plastik, gelas plastik bekas minum, bungkus makanan kecil, es krim, bahkan diapers! Pesta rakyat, meninggalkan sampah rakyat. Kasihan pasukan pembersih jalan. Mereka kerja ekstra keras.

Di sekolah, urusan sampah juga sama ruwetnya. Jumlah siswa hampir mencapai dua ribu, sampahnya bejibun.
Saya pernah mengajar di STM dengan jumlah murid yang hampir sama banyaknya. Jumlah sampah di sana tidak sebanyak sampah di sekolah saya. Apa karena sekolah saya banyak perempuannya? Banyak perempuan, banyak jajan. Jenis jajannya juga yang begitu-begitu. Sementara anak-anak STM, di kelas yang saya ajar, itu rata-rata bawa bekal dari rumah. Jadi istirahat pertama, mereka makan nasi. Sebab itu, barangkali, mereka jarang jajan. Sebab jarang jajan, maka sampah makanan kecil juga tidak sampai menumpuk. Bahkan sangat jarang saya melihat sampah bungkus biscuit. Paling banyak ya kertas minyak bekas bungkus nasi.

Beberapa program di sekolah sempat dilaksanakan. Mengumpulkan botol-botol plastik, misalnya. Menyediakan tempat sampah berbeda untuk jenis sampah organik dan nonorganik. Penerapan dua hal itu, rasanya juga tidak maksimal.
Mengumpulkan botol plastik mendatangkan masalah baru. Sebab penyetoran botol plastik itu tidak bisa setiap hari, maka barang-barang itu menumpuk di belakang, atau di sudut kelas+. Sedihnya, kadang murid-murid tidak bisa mengatur penyimpanan. Jadilah, botol plastik itu menggunung, atau berjatuhan begitu saja di lantai. Kotor, jorok, dan sama sekali tidak rapi.
Bak sampah di depan kelas, bisa meluap-luap tak terkendali saat siang tiba. Gelas plastik bertebaran di sekitarnya. Pemilahan tempat sampah sudah tidak berlaku lagi. Kertas, plastik, bekas makanan, bercampur jadi satu. Konsep pemisahan jenis sampah hanya berhasil pada label tempat sampahnya saja. Isinya, berkolaborasi dengan cantik. Sungguh sampah ini menerapkan persatuan dan kesatuan yang tidak terpecahkan! Hehe.
Melihat, menimbang dan mengingat centang perenangnya urusan sampah di kalangan siswa, saya mencoba memulai dari kelas dimana saya diamanahi sebagai walinya.

Mengurangi sampah? Belum, belum sampai situ. Baru bisa mencari pemecahan pada komitmen kebersihan kelas saja.
Beberapa ketentuan disepakati murid-murid, SOP sederhana.
SOP kebersihan, mulai dari meja guru sampai pengelolaan botol plastic yag akan disetor. Pertama, meja guru harus rapi. Laci meja guru bebas dari tumpukan kertas. Beberapa kali saya dapati di kelas lain, di meja guru menumpuk kertas yang tak jelas tuannya. Atau buku tulis, dan surat dispensasi yang tercecer. Belum lagi kolong mejanya. Barang peninggalan angkatan sebelumnya seperti sengaja diawetkan. Kolong meja serupa museum mini saja.

Lalu, kebersihan kolong meja masing-masing. Wajib bagi mereka membersihkan kolong menjelang pulang sekolah. Apakah semuanya menerapkan? Ah, tentu tidak. Jika semua patuh begitu, para petugasnya gak bisa menyalurkan bakat mengomel, dong. Anak-anak teledor tetap perlu dilestarikan agar yang peduli tidak menganggur. Maka, pada hari Jumat, hari bersih-bersih berjamaah, satu persatu kolong meja itu ditengok. Yang merasa punya kolong ajaib, dengan isi bermacam-macam (mulai sampah kertas, gelas atau botol plastik, bahkan kaos kaki!), siap-siap menampung teguran sakti.
Yang seru, satu sampah yang tercecer di kelas dan ketahuan, akan dihitung. Mereka boleh memilih, membayar dengan denda sekian rupiah per sampah, atau dengan sekian kali push up! Tahun ini, anak-anak memilih menghargai satu sampah lima ratus rupiah. Jadi kalau saya temukan lima sampah, tinggal mengalikan saja. Satu anak harus membayar dua ribu lima ratus rupiah. Lumayan, kas kelas jadi bertambah banyak.
Botol yang akan disetor ke bank sampah wajib diberi wadah kantong merah yang besar. Tak boleh ada yang terpisah dan mangkrak sendirian di luar kantong.

Menciptakan sekolah bebas sampah itu butuh perjuangan yang melibatkan banyak hal.
Pertama, masalah fasilitas. Jumlah bak sampah harus sesuai kebutuhan. Lalu, tempat pembuangan sampah masing-masing kelas juga perlu disediakan. Persoalan akses mudah untuk membuang sampah yang penuh ini juga menjadi alasan dan kendala bagi siswa. Sekolah kami luas. Tempat pembuangan sampah ada di sisi timur, lumayan jauh.
Kedua, konsistensi pelaksanaan aturan dan program. Aturan yang hangat diawal lalu mendingin di tengah hingga akhir, membuat semangat gampang loyo. Ini kerja komunal, kerja tim. Memelihara keistiqomahan memang butuh energi besar.
Ketiga, dukungan banyak pihak. Kadang suka sedih melihat bapak ibu guru membuang bungkus permen seenaknya. Atau membiarkan kotak nasi atau kotak kue, atau botol air mineral yang sudah kosong. Ditnggal begitu saja di atas meja, yang punya melenggang pulang.

Jadi ingat pesan Bu Anna, salah satu guru Bahasa Inggris, ketika beliau menjadi pembina upacara.
Panjang lebar beliau menyentil masalah sampah, dan yang berkesan adalah ini:
"Siapa yang bisa menyelesaikan urusan sampah, maka dia bisa selesaikan urusan sampah hatinya."
Wew, makjleb itu.

Persoalan sampah saja, butuh endurance atau ketahanan bergerak. Hal baik memang mengundang godaan untuk malas atau menyerah.
Perlu ta’awudz banyak-banyak, agar sampah-sampah malas dan bosan itu pergi!
Kuy, ta'awudz!

1 komentar:

  1. Hihihih, sampah = syaitan yah Mbak. Hihihh. Harusnya horor yaah, ditakuti biar gak nongol lagi jadi diusir :D

    Sampaaah, oh sampah. Memang perlu kesadaran extra buat tiap individu.

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.