SEPOTONG SUARA ADZAN

Minggu, Maret 10, 2019

Kamar kami ada di lantai 41, nomor 04. Hari pertama di hotel, takjub. Memandang lautan gedung tinggi dari jendela. Diselimuti kabut tipis, gedung itu tampak eksotis. Kukuh berdiri menantang awan, menjulang angkuh. Berdiri sekian menit di jendela, perlahan fisik menciut, mengecil, jadi kisut. Bukan sebab minum ramuan musuh Conan yang bisa membuat badan kecil, awet muda dan memendek.
Gedung besar dan tinggi, dibatasi langit luas. Setinggi apapun gedung, sebanyak apa pun bangunan, langit itu tetap luas dan gagah. Tak terusik dengan tantangan beton beton. Saya merasa kecil, dan tak berdaya. Langit tinggi itu tak tak terjangkau, segala di bumi tak berarti dibandingkan lengkung besarnya . Yang tampak, sebatas jangkauan mata saja. Lensa mata dibesarkan sampai bagaimana pun, detil detilnya hilang.

Mengapa fisik saya terasa menciut? Sebab takut. Takut pada kebesaran alam. Takut dengan kesanggupan alam melipat dan mengisap kemampuan manusia. Bayangkanlah apa saja yang bisa keluar dari kolong langit. Kekuatan yang Allah titipkan pada alam itu sanggup meluluhlantakkan usaha manusia selama bertahun tahun dalam waktu yang singkat.
Semisal angin. Angin yang kecil, sejuk, membuat nyaman mahluk bumi. Angin besar, melaju tak tertahan, menyapu segala yang dilewati. Manusia hanya bisa berlindung, bersembunyi.
Lalu hujan. Rintiknya muncul dari awan yang tergantung jauh dari bumi, tapi juga jauh dari langit. Ajaib. MasyaaAllah. Suatu sore, saya menjemput anak anak di SDIT. Di halaman sekolah, angin dingin mulai terasa. Sebentar kemudian, rintik tipis turun. Halus, dan sejuk. Kami menyusuri jalan pulang ke arah timur. Tak sampai setengah kilometer, di perempatan, angin terasa lebih kencang. Ketika kami berbelok ke kanan, menuju selatan, tampaklah pemandangan yang indah. Sisi selatan seperti tertutup tirai berupa kaki hujan. Lebat dan rapat. Sebaliknya, sisi utara, timur dan barat, hanya diselimuti rintik kecil dan tipis. Anak-anak berteriak senang ketika melaju menembusnya. Khas anak-anak, hujan adalah sahabat bermain yang asyik!
Imagine. Satu perempatan, berbeda keadaan antara sisi utara dan selatan. Betapa cantiknya alam menunjukkan kepatuhan pada Penciptanya, Allah Subhanahu waTa’ala. Betapa luas ilmuNya, sehingga inci per inci bagian bumi, sudah terbagi dengan rapi dan terukur. Sisi sini dengan kadar hujan sekian, sisi sebelahnya, dalam jarak yang sangat berdekatan, dengan kadar hujan yang berbeda. Tak meleset sedikit pun. MasyaaAllah.

Malam hari, berdiri lagi di jendela, pemandangan fantastik kembali muncul. Lampu berkelap kelip aneka warna. Kegelapan yang melengkung besar dari bawah langit, dipecahkan oleh ribuan titik cahaya. Ilmu mengantarkan manusia pada kemampuan memecahkan persoalan gelap. Yang saya pikirkan adalah, betapa besar amal jariyah orang yang menjadi penemu di bidang pengetahuan, jika mereka muslim. Pahala akan mengalir tak henti, beratus tahun setelah dia wafat. MasyaaAllah. Itu sebab ahli ilmu lebih mulia daripada ahli ibadah , syaitan lebih takut kepada ahli ilmu daripada ahli ibadah. Sebab jangkauan ilmu luas, memberikan solusi atas persoalam manusia. Yang menikmati hasil ilmu juga sangat luas. Jika ia berupa aplikasi, misalnya, bisa jadi pahalanya berdatangan dari banyak aspek: kemudahan yang ditimbulkan, jangkauan ilmu yang dibagikan, dan efek ikutan lain yang tidak diperhitungkan. MasyaaAllah.

Shubuh tadi, adzan berkumandang dari hape. Kamar sunyi, tirai jendela sedikit tersingkap. Alunan sayup adzan menjalar di atas karpet. Di atas ketinggian ini, telah sepekan saya kehilangan panggilan adzan yang keluar dari corong masjid. Hati basah. Sepinya kamar, dan perasaan kerdil, memunculkan sensasi baru atas adzan.
Saya rindu. Rindu masjid. Rindu lantunan al Quran dari corongnya. Rindu wajah wajah basah air wudhu, sarung dan baju taqwa para Bapak, serta mukena para Ibu.
Bersyukur atas kesempatan belajar tiga pekan ini. Bersyukur atas pertemuan dengan para profesor. Bersyukur atas imu yang beliau bagi. Bersyukur atas kebersamaan dengan teman teman hebat dan luar biasa ini. Bersykur atas semuanya, dan memohon ampun atas segala kelemahan. Tiada daya dan upaya kecuali karena Allah semata. Seorang Umi dalam perjalanan tugas diklat ini semoga menjadi salah satu guru Indonesia (sebagai) agen perubahan.

Sepotong suara adzan, membuat melow hati.

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.
Ditulis di BErjaya Time Square East, 41 04. Pukul 10.43 waktu Malaysia.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.