MONEY CHANGER DADAKAN

Minggu, Maret 17, 2019
Urusan oleholeh
“Belikan Milo cube,” kata Hafidz.
“Nenek titip daster, yang di pasar Seni, ” kata Hafiz lagi.
“Sepatu baru ya? Aku dibelikan gak?” Itu pertanyaan Zahra.
“Aku gak mau gantungan kunci,” kata salah satu kawanan Beb, geng saya yang antik itu. Idih, siapa juga mau belikan mereka oleh-oleh.
Maka, urusan membeli oleh-oleh ini berkaitan dengan dua hal. Pertama, dananya. Kedua, bagaimana membawanya nanti? Bagasi hanya dibatasi sampai 23 kg saja. Sementara yang boleh dibawa ke kabin maksimal hanya 12 kg saja. Waktu berangkat berat koper sudah 18 kg. Berat bawaan ke kabin entah berapa, insyaaAllah tidak sampai 5 kg. Berhubung ada ibu guru yang menitipkan barangnya, maka berat koper menjadi lebih dari 5 kg . Entah lebih berapa.

Semalam mengobrol dengan Mas Budi. Melepas rindu. Meluapkan uneg-uneg. Uneg-uneg utamanya adalah... saya rindu, Mas Budi juga. Hihi. Selain sekantung rindu itu, kami juga membincangkan, salah satunya, oleh-oleh.
“Jangan banyak-banyak. Nanti kelebihan bagasi.”
“Iya sih, tapi ingin belikan buat beberapa orang.”
Saya membuat daftarnya. Satu, Ayah. Dua, anak-anak. Tiga, Nenek. Empat, Acil Tintin. Lima, enam, tujuh, delapan... Lalu saya terkejut. Daftar berlanjut sampai nomor dua puluh. Lho, kok banyak? Lho, kok bisa?
“Dikurangi,” tulis Mas Budi.
Sebentar, untuk mengurangi, saya perlu terapkan lebih lanjut ke dalam critical thinking, lalu lanjutkan pada creative thinking supaya ada solusi. Ilmu nak saye terapkan, ha? Keputusan berupa daftar nama itu perlu direnungkan ulang dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan: mengapa harus diberi oleh-oleh? Bagaimana cara saya memilih jenis oleh+oleh yang tepat? Berapa jumlahnya? Mengapa jumlahnya harus sebanyak itu? Di mana nak dibeli? Naik apa, dengan siapa, kapan? Ukur waktu, dana dan kemampuan membawa. Nah, hasil renungan atas pertanyaan itu dipikirkan kembali, dievaluasi ulang. Jadilah keputusan Begitu. Ribet kah? Tidak juga. Seiring dengan waktu, akan terlatih. Secara otomatis otak akan terlatih menyusun kerangka berpikir yang sistematis dan terukur.
Saya bicara begini seolah-olah sudah terlatih, ya. Saya hanya bercermin pada kebiasaan menulis selama ini. Sebab sering dipakai untuk menulis, setiap kali melihat atau mengalami peristiwa, otak langsung bekerja: judulnya ini, alurnya begini, anglenya dari situ, tokohnya anu dan anu, konfliknya yang itu, endingnya begini. Otomatis tersusun. Saat ditulis, tinggal menata lebih rapi dan menyempurnakannya.

Ringgit Menipis
Setelah hampir dua pekan, uang saku mulai menipis. Ringgit pergi dengan riang dari tas dan dompet. Entah mengapa, mereka tak betah berlama-lama di dalam tas. Masih ada satu setengah pekan lagi. Harus cari ringgit lagi.
Oh ya, hari-hari pertama pegang uang ringgit, saya agak bingung. Lembarnya lebih pendek, dan seperti uang-uangan monopoli. Seperti mainan. Apalagi koinnya. Ukurannya tidak ramah bagi mata orang tua (eciyeee, yang merasa tua!). Persis uang-uangan juga. Rawan ketelisut, alias mudah ‘nyelip’.
Gerombolan ringgit pertama, dapat tukar dengan sesama peserta. Kebetulan saya dapat uang saku berupa rupian. Saat akan packing, bertemu dengan ibu muda yang lencir, kurusssss, beranak empat. Kalau melihat penampilannya, tidak mengira bahwa dia beranak empat. Namanya BU Arni. Dia punya kisah pernikahan yang unik. Menikah usia SMA (ssst, kelas tiga SMA hamil!), dan dijodohkan. Dijemput pulang tanpa tahu mengapa dijemput. Turun dari mobil langsung dirias oleh perias pengantin. Menangis tidak? Ish, kepo!



“Boleh bertukar dengan saya,” begitu kurang lebih yang dikatakannya. Jangan lupa kalau membaca dialog dia, pakai logat Sulawesi, ya. Supaya dapat sensenya. Begitu.
“Bisakah? Alhamdulillah,” jawab saya. Nah, yang ini dengan intonasi ala saya.
“Saya sudah tukar sebelum berangkat, jadi ini tak terpakai.” Masih dengan dialek Sulawesi, ya.
Maka saya menukarkan sekian ratus ringgit. Untuk makan, minum, cemilan, perlengkapan ini itu, beli coklat, beli sepatu anakanak, beli kaos Hafidz, beli ini, itu. Dan...simsalabim! The game is over, hehe.



“Tukar dengan Bu Novi, uangnya masih utuh,” kata Bu Arni beberapa hari lalu. What, masih sisa? Kok bisa?
“Kan kopernya waktu berangkat sudah penuh, jadi dia tidak beli apaapa,” imbuh Bu Arni. Maka saya pedekate padanya.
“Tukar, ya Bu.”
“Boleh, boleh. Mau tukar berapa?”
“Ibu punya berapa?”
“Maunya tukar berapa?”
Lho, berbelit begini.
“Besok ya, saya tidak bawa uang sekarang.”
“Sekarang saya kasih saja, Bu Umi ganti besok tidak apa-apa.” Oh ya, alhamdulillah. Kami bertransaksi. Bersyukur dapat tukar uang tanpa perlu pergi ke money changer. Sudah ada yang alih profesi, menjadi money changer dadakan.
Good job Bu Arni, Bu Novi! You are my hero. Wehehe.

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.
Berjaya Times Square, 17 MAret 2019, pukul 12.2 waktu MAlaysia.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.