MENDORONG KURSI

Selasa, Maret 12, 2019


Kelas kami di kampus UMCCED (University of Malaya Centre for Continuing Education), Wisma R & D University of Malaya.
Semua mahasiswa memiliki kad (kartu) khusus sebagai akses keluar masuk gedung. Dua hari pertama, kami di ruang 55.
Hari ketiga kami pindah karena masalah pendingin ruangan yang tidak bekerja dengan baik. Ruang yang dipakai kemudian adalah , 5 7. Lalu LCD tidak berfungsi dengan baik, kami pindah lagi ke ruang 10.

Saya menghindari AC kelas. AC digantung di langit langit kelas (yang rendah) bagian tengah. Satu di depan, satu lagi di belakang. Yang duduk di deretan tengah akan kedinginan. Jika suhu dinaikkan, yang duduk di tepi kiri kanan, merasa ‘sumuk’.
Kursi berwarna biru, dengan meja panjang berwarna putih. Kelas bersih. Informasi mengenai prosedur standar keselamatan mudah ditemukan di setiap bagian gedung ini. Lengkap dengan denah. Dua bahasa, Inggris dan Melayu. Pintu pintunya berat, kuat dan kokoh. Saya menduga pintu itu didesain untuk penghalang api jika terjadi kebakaran. Terutama pintu akses menuju tangga. Berat nian. Kadang saya pakai dua tangan untuk membukanya.
Kampus menyediakan air minum. Semula saya bawa botol air minum plus isinya. Setelah sekian hari, saya cuma bawa botolnya saja. Begitu sampai kelas pagi hari, langsung mengisi botol air minum. Lumayan irit, hehe. Maklum, perantauan. Hehe.

Hari Kamis, jadwal berkunjung ke sekolah. Dua SMK, disebut Kolej Vokasional. Lama sekolah kolej adalah empat tahun. Tiga tahun belajar, kemudian praktik lapangan, lalu selesaikan proyek atau laporan hingga kelulusan. Mereka menyandang gelar diploma setelah empat tahun belajar. Mungkin di Indonesia setara dengan Diploma setahun.
Pengacara majelis sekolah pertama, Kolej Vokasional Sungai Buloh, seorang guru muda, cantik. Pengacara jadi guru? His, itu maksunya MC. Dia membawakan acara dengan mendayu-dayu, alunannya terdengar asing, lucu, tapi indah. Banyak berpantun. Ucapan alu-aluan berderet-deret. Alu-aluan, bukan beradu alu, apalagi bertengkar bawa alu. Itu sebutan Melayu untuk ‘sambutan’. Setiap kalimatnya saya cermati. Berusaha memahami dan mencari padanan kalimat dalam bahasa Indonesia. Sekolah keua adalah KV ERT Setapak. ERT singkatan dari Ekonomi Rumah Tangga. Program (Kompetensi keahlian) di dalamnya kecantikan (kecantikan kulit dan rambut, juga Boga, dan sistem komputer dan rangkaian (di Indonesia disebut TKJ ). Kedua sekolah itu berhalaman bersih. Tidak terlalu luas. Gedungnya juga standar saja. Yang menarik, lagi-lagi, standar prosedur penanganan kebakaran ada di mana-mana. Dengan gambar, dengan tulisan. Denah juga terpampang jelas. Oh ya, pengacara majelis membacakan standar keselamatan diri sebelum masuk acara inti. Tidak cuma dibacakan, tapi terpampang di proyektor. Lengkap pula dengan denahnya. Juga diinformasikan seang berada di lantai berapakah kami saat itu.
Keren. Hal yang belum pernah saya temukan di Indonesia
Setelah sambutan, kami dibawa ke kelas untuk melihat proses belajar.


Masalah bagaimana sekolah itu dan apa saja yang kami lakukan secara detil, kapan-kapan saja saya ceritakan, insyaaAllah.
Saya mau berbagi pelajaran penting hasil pengamatan di ruang kuliah dan hasil kunjungan pada satu titik: budaya rapi dan bersih.
Adab kebersihan dan tanggung jawab.
Setelah selesai belajar, saya melewati kelas-kelas. Rata-rata dalam keadaan rapi dan bersih. Tak ada sampah berceceran di dalam kelas. Kursi juga tertata rapi.
Di kolej, saat beranjak dari kursi hendak menuju kelas, Bu Ike (lakon Perempuan BErtudung KErtas) berbisik pada saya.
“Coba lihat, Pak Wahyu dan Bapak satunya dari UM langsung mendorong kursi, dirapikan kembali seperti semula setelah berdiri. Botol bekas minum juga langsung dibawa sendiri untuk dibuang.”
Refleks saya menoleh ke arah Pak Wahyu duduk. Benar. Kursinya rapi, merapat pada meja. Begitu juga kursi para Tuan dan Puan guru Kolej. Sementara kursi saya, kursi temanteman, masih berantakan. Jangankan merapat ke meja seperti semula, posisinya saja centang perenang. Ada yang menghadap ke kiri, ke kanan. Botol air mineral yang sudah kosong atau masih ada isinya, teronggok manis di atas meja. Tidak dipedulikan pemiliknya yang sudah melesat keluar. Termasuk botol minum saya. Aih, malu. Segera saya ambil botol malang itu, dan mendorong kursi supaya rapi.
Hal yang sama coba dilakukan setelah kelas usai. Membereskan kursi, meja, memunguti sampah yang dilupakan pemiliknya.
Di akhir kelas, saya lihat Professor mematikan sendiri lampu, LCD, dan merapikan sendiri meja, serta mengunci pintunya. Tidak mentang-mentang profesor maka semuanya ditinggal begitu saja.
Saya jadi ingat satu suasana setelah rapat, suatu waktu, di Indonesia. Ramai dibahas dalam rapat itu mengenai bagaimana menumbuhkan kepedulian sampah pada siswa. Setelah rapat usai, botol minum, kotak kue, tisu, berserakan di sebagian meja peserta rapat. Bagaimana, coba?

Urusan mendorong kursi, ternyata bukan urusan sederhana. Urusan sampah, juga bukan hal biasa.
Perlu usaha lebih untuk membudayakannya. Kita memang banyak tertinggal. Hiks.

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.
BErjaya Times Square East, 41 04, pukul 22.40 waktu MAlaysia.

2 komentar:

  1. Yuk kita budayakan di negeri kita...

    BalasHapus
  2. Perlu waktu setara dengan dua generasi untuk membiasakan menjaga kebersihan (membuang sampah pada tempatnya).

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.