KOPOR ALAY

Jumat, Maret 01, 2019
Bagian kedua, catatan perjalanan Diklat di Malaysia. Bagian pertama, sila dibaca disini.

Kopor ukuran 28 inch itu hampir sepinggang saya. Bukan kopornya yang sangat besar, tapi saya yang terlalu mungil (alias pendek!!). Apa yang dimasukkan? Ssst, jangan bilangbilang. Setrika, kabel panjang, sepatu, sarikurma, vitamin, souvenir, dll. Saya bersimulasi membawa kopor besar dan kecil itu. Terseret langkah saya, ribet. Ah, biarlah. Bagaimana nanti saja.
Tiba di Bandara Juanda pukul 06.35. Pesawat saya pukul 09.45. Masih tiga jam lagi. Saya mengambil troli, dan mengangkat kopor itu. Berat? Bangeeeet! Biar berat, tetap semangat dan gembira. Momen angkat kopor masih berlanjut ketika masuk hendak cek ini. Hup, hup. Petugas hanya melihat wanita kecil mungil ini mengangkat kopornya dengan gagah perkasa. Yeaah. Emak super! (Mbeeel!)

Nah, ketika memindahkan kembali ke troli dari xray, saya disambut mas yang juga mungil.
"Bu, wrap kopor?"
Saya yang masih mengatur nafas setelah angkat kopor itu, melongo. Watak bloon saya keluar.
"Harus, gitu?" tanya saya. (Dan sekarang, asli, saya tertawa dalam hati kalau ingat pertanyaan konyol itu!)
Dan demi melihat wajah lugu (alias oon) saya, plus pertanyaan tidak bermutu itu, si mas langsung menarik kopor saya. Keduanya. Saya yang masih menyalakan mode oon, bingung.
"Eh, itu yang kecil jangan diwrap! Mau dibawa ke kabin!"
"Ini lebih 7 kg, Bu. Harus dibawa ke bagasi."
"Nggak ah, itu gak sampai 7 kg!" saya bersikeras. Eh, si Mas menyebalkan itu cuek saja, melanjutkan membungkus kopor. Jadilah kopor mungil saya tampak aneh: diselimuti rapat layaknya sedang kedinginan.


Nah, kopor itu naik ke kabin. Tidak saya masukkan bagasi, sebab kopor besar saja sudah 18 kg. Saya menyeret kopor itu dengan perasaan geli. Satu dua orang memperhatikan kopor tersebut. Kalau, kalau saja ditanya kenapa dibungkus padahal dia masuk kabin, saya sediakan jawaban ringkas: sedang demam! Wehehehe. Untung tidak ada yang bertanya!
Masuk ke ruang tunggu, suasana cukup ramai. Satu dua yang duduk dan melintas dekat saya, memandang sekilas. Saya GR. Padahal belum tentu juga yang memandang itu benar benar memandangi, ya! Bisa jadi sekedar memandang, dengan pikiran ke masalah lain. Ah, kan sudah saya bilang, saya yang GR. Gimana, sih!

Sambil menunggu, iseng saya foto kopor itu. Lalu saya kirim gambarnya ke Mas Budi. Terjadilah percakapan via WA.
"Lhooo, kok dibungkus!"
"Wkwkwk... Efek oon!"
"Sudah sarapan?"
"Sudah, bawa nasi dan abon juga."
"(emot jempol)."

Sudah, begitu saja.
Mas Budi memang penyeimbang yang baik. Saya alay, dia cool. Coba lihat, kopor saya juga alay.
Belajar dari pengalaman ini, maka, saya berjanji:
1. Tidak akan pasang tampang oon dan lugu dalam perjalanan
2. Belajar ngeyel lebih keras lagi, supaya bisa melawan ngeyel ala mas pembungkus kopor itu. Ingat, ngeyel itu sebagian dari perjuangan !
Semoga janji ini bisa terlaksana dengan baik. Aamiin.

Ibu Guru Umi; menulis agar bahagia.
Ditulis di kamar 12, gedung MAhoni lantai 2, P4TK Bahasa, Jakarta.

2 komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.