POOR TARRANT!

Rabu, Maret 20, 2019


Break shalat dan makan siang kemarin, saya berdiam di kelas.
“Ada penembakan di masjid, Australia,” seorang teman berkata.
“Pelaku merekam aksinya, videonya tersebar.”
Rekan Ibu guru di ruangan membuka media sosial yang memuat. Saya juga ikut mencari, namun kemudian berhenti. Tidak akan tega menonton, tidak akan kuat. Mendengar kabarnya saat itu saja, hati langsung berkabut. Mata panas, menahan air yang hendak tumpah. Di bis pulang, ada yang membahas lagi, dan air mata akhirnya tumpah.
Allah, syahidkan mereka. Limpahi dengan kemuliaan dan ampunanMu. Tabahkan hati keluarga yang ditinggalkan. Sabarkan dan kokohkan kesabaran mereka. Tambahkan keimanan dan ketaqwaan dalam hati mereka. Satukan hati kami semua, umat muslim sedunia, dalam cinta dan taat kepadaMu. Allahummaa aamiin.
“Marah wajar, justru kalau tidak marah perlu dipertanyakan kemanusiaannya. Kebencian NO!” Demikian seorang aktivis dakwah berujar di dalam group WA.
Melihat wajah pelaku, sungguh mendidih darah ini. Ia telah membunuhi saudara-saudar aseiman kami layaknya mahluk tak berguna. Ia berlagak seakan sedang bermainmain. Kebenciannya pada agama ini mematikan kemanusiaannya.
Saya membaca manifesto Brenton Tarrant, judulnya The Great Replacement. Saya cuplik beberapa poin yang ditulisnya.

Tanya : What do you want?
(Apa yang Anda inginkan?))
Jawab: We must ensure the existence of our people, and a future for white children.
(Kita harus melestarikan keberadaan masyarakat kita, dan masa depan bagi anakanak kulit putih).

Lihat betapa merasa superiornya dia sebagai ras kulit putih. Ia pikir hanya yang berkulit putih saja yang berhak hidup di negerinya. Pandangan ini sekaligus membuktikan sikap menyepelekan ras atau suku bangsa lain selain yang berkulit putih.
Dia mungkin belum pernah membaca ayat Allah SWT:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al Hujurat : 13).
Saling kenal mengenal. Saling berkomunikasi, sebagai wasilah menjalankan kehidupan yang berkualitas. Tampak betapa dia takut dengan lenyapnya kaum kulit putih, dan menyalahkan kaum imigran sebagai sumber.

Tarrant menyatakan:
White people are failing to reproduce, failing to create families, failing to have children. But despite this sub-replacement fertility rate, the population in the West is increasing, and rapidly. How is this possible? Mass immigration and the higher fertility rates of the immigrants themselves are causing this increase in population.
Perhatikanlah, dia menganggap ‘white people’ gagal dalam keluarga, gagal memiliki anak (yang banyak), gagal memperbanyak keturunan. Secara logika, harusnya yang menjadi fokus adalah : Mengapa demikian? Bagaimana supaya tidak demikian? Alih-alih mencari solusi atas kegagalan itu, dia malah menyalahkan para imigran. Konsep keluarga yang lemah di negerinya dan kehilangan arah visi tidak menjadi perhatian.

Tanya: Why did you target those people?
(Mengapa Anda menjadikan mereka sebagai target?)
Jawab : They were an obvious,visible and large group of invaders, from a culture with higher fertility rates, higher social trust and strong, robust traditions that seek to occupy my peoples lands and ethnically replace my own people.
(Secara jelas tampak sekali mereka sekelompok penjajah, datang dari budaya dengan tingkat kelahiran tinggi, kepercayaan sosial tinggi, tradisi yang kuat, dan mereka akan mencaplok tanah dan menggusur orang kita sendiri).
Semakin tampak kelemahan logika Tarrant dalam menganalisa masalah sosialnya. Secara tidak langsung dia mengakui kelebihan ‘kelompok penjajah’ sebagai masyarakat yang lebih siap menghadapi masa depan. Dia mengakui lemahnya sistem sosial ‘white people’. Kasihan, dia cemas dengan masa depan, namun gagal menformulasikan kecemasan itu dengan pemikiran cerdas yang akan membawanya kepada solusi yang beradab dan manusiawi.

Tanya : Did/do you personally hate muslims?
(Secara personal, apakah Anda membenci muslim?)
Jawab : A muslim man or woman living in their homelands? No. A muslim man or woman choosing to invade our lands live on our soil and replace our people? Yes, I dislike them. The only muslim I truly hate is the convert, those from our own people that turn their backs on their heritage, turn their backs on their cultures, turn their back on their traditions and became blood traitors to their own race. These I hate.
(Seorang muslim yang tinggal di tanah air mereka? Tidak. Seorang muslim yang menjajah tanah kita, tinggal di tanah kita dan menggantikan masyarakat kita? Ya, saya membenci mereka. Muslim yang benarbenar saya benci adalah dari kalangan kita, yang berpindah agama dan menjadi pengkhianat ras kita sendiri. Yang begini saya benci.)
Pernyataannya membuat saya teringat pada sirah Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw dituduh mengkhianati kepercayaan nenek moyang, memecah belah keluarga, mengacak-acak tatanan sosial yang sudah mapan. Pesannya sama, anggapan bahwa agama Islam adalah perusak dan siapa yang memeluknya dianggap sebagai pengkhianat. Mereka menutup mata terhadap keberhasilan Islam menjadikan pribadi yang produktif dalam kebaikan. Mereka mengabaikan fakta bahwa hidup dalam Islam membuat kehidupan pribadi, keluarga dan sosial menjadi kokoh.


Tanya : Did/do you personally hate foreigners/other cultures?
(Apakah Anda membenci orang asing atau budaya lain?)
Jawab : No, I spent many years travelling through many, many nations. Everywhere I travelled, barring a few small exceptions, I was treated wonderfully, often as a guest and even as a friend. The varied cultures of the world greeted me with warmth and compassion, and I very much enjoyed nearly every moment I spent with them. I wish the different peoples of their world all the best regardless of their ethnicity, race, culture of faith and that they live in peace and prosperity, amongst their own people, practicing their own traditions, in their own nations. But, if those same people seek to come to my peoples lands, replace my people, subjugate my people, make war upon on my people, then I shall be forced to fight them, and hold nothing in reserve.
(Tidak, saya melakukan perjalanan selama bertahuntahun ke banyak negara. Kemana saja saya pergi, kecuali satu dua kejadian kecil, saya diperlakukan dengan baik, sebagai tamu bahkan sebagai teman. Berbagai budaya seluruh dunia menyelimutiku dengan kehangatan dan kasih sayang, dan saya sangat menikmati setiap momen bersama mereka. Saya berharap seluruh dunia, tanpa melihat latar belakang etnis, sosial budaya, agama dan kepercayaan, hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan, menerapkan tradisi diantara masyarakat mereka sendiri, di dalam negara mereka sendiri. Tapi, jika mereka datang ke tanah kami, menggantikan masyarakat kami, menundukkan orangorang kami, berperang melawan kami, maka saya harus memerangi mereka habishabisan).

Poor Tarrant.
Jiwanya sakit. Dia merasa terancam. Lupa bahwa ancaman itu datang dari kebobrokan kehidupan moral masyarakatnya. Dia menuduh imigran yang datang dengan damai, menghidupkan ekonomi di negaranya, hidup tenang, sejahtera dan mempunyai ikatan sosial yang lebih kuat daripada ikatan sosial masyarakatnya sendiri, sebagai penjajah. Dia lupa bahwa sejarah mencatat penjajahan yang dilakukan oleh ‘kulit putih’ selama beberapa ratus tahu. Dia lupa siapa pemula kolonialisme yang menghisap dan membunuhi rakyat penduduk asli.
Sekali lagi, saya melihat sejarah sirah nabawi berulang.
Lihat pada pengalamannya berinteraksi dengan penduduk negeri lain. Keramahan, kebaikan, kehangatan, kasih sayang yang didapatnya saat melakukan perjalanan tidak bisa membuat mata hatinya terbuka. Masih saja disimpannya prasangka dan phobi bahwa para pendatang itu akan menjajah negerinya. Sebagaimana Rasulullah sawa dahulu. Track record Nabi Muhammad saw adalah sebagai ‘al amin’ alias yang terpercaya. Akhlaq, kesantunan, keluhuran budi, kejujuran selama 40 tahun hidup di tengah-tengah masyarakat tidak meninggalkan bekas dalam diri para penentang dakwah sebab kedengkian, kebencian, dan merasa terancam: terancam jabatannya, terancam status sosial, terancam keleluasaan meluapkan hawa nafsu.

Poor Tarrant. Cara berpikir yang kritis, ketika tidak dibimbing cahaya hidayah, menyesatkan sejauhjauhnya.
Melihat wajahnya, saya marah. Membaca tulisannya, saya marah. Tapi sekaligus juga miris dan kasihan.
Sepanjang dia masih diberi waktu hidup, sepanjang itu pula dia punya peluang mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Who knows? Mungkin sekian tahun mendatang dia akan mendatangi masjid itu, menangisi kesalahannya, melantunkan doa taubatnya. Who knows?
Kemarahan atas kebiadabannya, jangan sampai menutup peluang mendoakannya. Jika pun dia tetap dalam keyakinannya, maka sedikitpun tidak akan mengurangi kemuliaan agama yang dia hina ini. Yang dilakukannya membangkitkan ghirah, meletup kesadaran untuk menyatukan hati, saling bahu membahu dan saling mendoakan. Berdoa semoga mereka yang menjadi korban dikaruniai syahid dan mendapatan jannah. Berdoa semoga keluarga yang ditinggalkan diberi karunia kesabaran dan ketabahan yang melimpah, dan semoga Allah SWT mencurahkan rahmat dan pertolongannya atas kesabaran itu. Berdoa semoga kita dapat menarik pelajaran penting dari kejadian ini: bahwa kita, sesama umat muslim, adalah bersaudara. Ghirah yang bangkit ini, mari kelola dengan kesadaran keimanan yang mencerminkan keagungan agama ini: rahmat bagi seluruh alam.

Poor Tarrant. Semoga Allah SWT perkenankan dirimu memeluk cahaya Islam, dan merasakan indahnya ukhuwwah dan dakwah.

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.
Berjaya Times Square, 17 Maret 2019, 16.46 waktu Malaysia.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.