SELALU MATI GAYA

Kamis, September 28, 2017



BABAK 1

Tanggal 4 November 2016 lalu, Ayah berangkat ke Jakarta, bergabung dalam aksi bela Islam. Berangkat malam hari dengan pesawat, lalu kembali malam berikutnya. Aksi berikutnya, Ayah kembali ikut. Saya sempat mengajukan usul Hafidz turut. Tapi Ayah keberatan.
Hari H, kami duduk manis di depan televisi. Menonton aksi yang disiarkan live.

"Kapan-kapan, kalau ada aksi lagi dan Kakak cukup besar, ikut aksi juga seperti Ayah ya, kumpul dengan kaum muslimin lainnya," kata saya, dengan nada serius. Disisipkan semangat agar jadi lebih heroik.
Hafidz memandang televisi. Beberapa saat dia diam, lalu tiba-tiba berputar menghadap saya.

"Lhoooo..," katanya lantang. Wajahnya serius. Seriuuuuus sekali.

"Ikut aja, asyik kumpul dengan banyak saudara muslim." Saya masih berapi-api. Hafidz melihat televisi lagi.

"Kayak Ayah, tuh, keren," imbuh saya. Hafidz memandang saya, dengan ekspresi yang gimana...gitu.

"Lhoooooo.... Aku lho, gak mau jadi guru!" Dia berkata lantang. Tegas, dan sangat yakin.

Saya bengong. Yakin juga, yakin bahwa saya gak paham arah jawabannya.

"Kok jadi guru?"

"Iyaaa, aku gak mau jadi guru!" Dia masih keukeuh. Otak saya berpikir cepat. Lalu terbahak-bahak. Gantian Hafidz yang bengong.

Tahu kenapa saya tertawa? Kalau belum mudeng, komen saja. Ntar saya bisikin.

BABAK 2

Mbak Epink, sepupu Hafidz menikah. Hari Rabu, anak-anak bolos sekolah. Pakde, ayah mbak Epink, memelihara kambing. Nah, foto itu, Hafidz sedang memberi makan kambing. Itu kesukaannya sejak kecil jika kami silaturahim ke sana.
Jadi, saya mau cerita kambing? Bukan. Saya mau cerita sahabat kambing itu. Yang tertawanya jail, usil, dan suka bikin kejutan.

Hari Sabtu, acara ngunduh mantu di Surabaya. Rencana semula kami semua akan ikut. Tapi mendadak saya harus hadiri acara selama dua hari. Mengetahui saya tidak ikut, Nabila mundur. Najma ikut batal. Zahra juga tidak mau. Hafidz? Dia galau.
Ayah? Galau juga.

Malam hari sebelum berangkat, Ayah merayu Hafidz.

"Ikut ya. Kita ke Surabaya sama Mbak Epink." Opening rayuan Ayah. Garing, ya? Begitulah.

"Bunda ikut?" Hafidz melirik saya.

"Nggak." Saya yang menjawab.

"Mbak Biya ikut?"

"Mbak Biya sekolah. Mbak Najma juga."

"Mbak Zahra?" Dia mengabsen dengan tuntas. Zahra di dekatnya. Dia geleng-geleng.

"Ikut aja, Kak. Temani Ayah," saya membujuknya. Hafidz tidak menjawab. Sepertinya dia tertular galau juga.

Esok pagi-pagi sekali, Ayah sudah siap. Hafidz bermalas-malasan di kasur.

"Ayo, Hafidz. Ganti baju,katanya mau ikut?" Ayah mengeluarkan jurus terakhir. Siapa tahu berhasil.

Hafidz berbalik, memandang Ayah. Saya cemas melihat ekspresi wajahnya. Ini pertanda!

"Lhooooo... Kemarin aku kan belum memutuskan!" Ayah tercengang. Lalu terpingkal-pingkal. Saya meleletkan lidah pada Ayah.
Lha iyo, tho!


BABAK 3

Sekolah mengeluarkan edaran ekstra kurikuler. Hafidz mengisi formnya sendiri. Kami terlibat diskusi.

"Ikut apa, Bunda?"

"Kakak suka apa?"

"Menulis, boleh?" Saya mengangguk.

"Ya deh, menulis. Eh, jangan." Dia berpikir lagi. Bolpoinnya diketuk-ketuk ke meja. Saya duduk anteng, menunggu keputusannya.

"Tahfidz ya?" Saya mengangguk.

"Tahfidznya pagi-pagi, Bunda." Saya mengangguk lagi. Dia menulisi kertas itu. Lalu, ekspresi berpikirnya muncul kembali.

"Apalagi ya?"

"Ada apa saja?"

"Menulis, banjari, tahfidz, silat, renang, futsal...."

"Gak ingin renang?" Dia menggeleng. Dulu dia ikut kursus renang. Setelah bisa, berhenti.

"Kenapa gak ikut futsal?" usul saya.

"Emang boleh ikut futsal?" Hafidz memandang saya.

"Futsal kan kayak sepak bola, tapi pemainnya lebih sedikit. Lapangannya juga gak seluas lapangan sepak bola. Asyik kayaknya ikut itu."
Nada bicara saya atur agar mengeluarkan energi positif. Sebagai emak yang berdedikasi, saya kan harus memberikan pemahaman dan pengertian yang baik dan benar pada anak-anak. Supaya masa depan mereka baik dan cemerlang. Sehingga, saya berkontribusi terhadap proses pendidikan anak bangsa. Eh, tadi bicara apa, yes?

Selesai saya ucapkan kalimat terakhir, Hafidz memandang saya. Oh, no. Ekspresi itu lagi. Gawat.

"Bunda, aku tahu futsal itu seperti sepak bola. Aku sudah ngerti, Bunda. Aku kan cuma tanya, apa aku boleh ikut futsal?"

Saya gelagapan. Betul, kan? Bener, kan? Komentarnya selalu bikin kami mati gaya!

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.