MANTRA PENJINAK ULAR
Judul :
Mantra Penjinak Ular
Penulis :
Kuntowijoyo
Perancang Grafis : A N Rahmawanta
Penerbit :
Penerbit Buku Kompas, PT Kompas Media Nusantara
ISBN :
978-979-709-743-1
Cetakan :
Kedua, 2013
Jumlah halaman : 274 Hal.
SINOPSIS
Dalam setting budaya Jawa
berikut warna Islam yang selalu mewarnai karya Kuntowijoyo, tokoh Abu Kasan
Sapari tumbuh dalam suatu proses dialektika dengan zamannya. Yaitu ketika ‘Bumi
gonjang- ganjing, langit megap-megap’. Sebagai
seorang pegawai di sebuah kecamatan di kaki GunungLawu, Jawa Tengah, Abu
berkesempatan tampil sebagai saksi sejarah menjelang tumbangnya kejayaan sebuah
orde yang kemaruk: Orde Baru!
Sampai akhirnya tanda-tanda
zaman itu muncul, isyarat bahwa pemerintah yang tengah berkuasa akan segera
ambruk. Lalu pada suatu malam di musim kemarau, hujan lebat – oleh masyarakat
dinamakan hujan salah musim – itu datang disertai angin ribut.
“Pagi hari, hujan dan angin
reda. Orang-orang keluar ke terminal. Beringin itu tumbang! Pohon yang selama
ini tegak menghadap musim hujan dan angin terbujur kaku, akar-akarnya mencuat
si atas tanah...”
LUCU YANG SEDERHANA
Membaca tulisan Kuntowijoyo itu, membawa sensasi tersendiri. Aroma
budaya Jawa yang kalem, sluman – slumun - slamet, lugu, sekaligus lucu, menguar
secara utuh. Alur mengalir natural. Tidak ada hentakan-hentakan dramatis yang
muncul secara berlebihan.
Semuanya alamiah.
Mantra Penjinak Ular. Jika
mengikuti alur novel pada umumnya, kira-kira apa yang dibayangkan pembaca?
Mungkin sama dengan yang saya pikirkan: ini buku bercerita tentang seseorang
yang mendapatkan atau berhubungan dengan mistis. Bisa menjinakkan ular, dan
akibat kemampuan itu, muncullah konflik dan intrik.
Sinetron banget akuuuh!
Di bagian pertama, adalah kisah
masa kecil hingga masa remaja menjelang dewasa
Abu Kasan Sapari. Dimulai dengan pemilihan namanya ‘Sapar’ yang
mengundang pertanyaan sang kakek. Sebab jabang bayi itu tidak mungkin lahir di
bulan Sapar. Ayah Abu Kasan menjawab malu-malu, bahwa bulan Sapar adalah bulan
jadinya!
Keluguan, keunikan berpikir
orang-orang desa sederhana kadang tidak tertangkap antena pemirsa abad
sinetron.
Urusan dengan mantra ular berada
di bagian kedua. Kejadian Abu Kasan mendapatkan mantra penjinak ular adalah di
Cembeng, sejenis pasar malam. Bukan dalam laku tapa atau semedi di sungai atau
gua-gua. Pemberi mantra penjinak itu serupa jailangkung: datang tanpa diundang
pulang tanpa diantar. Makbedunduk
muncul, tepuk-tepuk pundak, dan bisik-bisik tentang mantra itu. Termasuk laku: does dan don’tsnya. Di bab ini, Abu
Kasan mulai dikenal sebagai Ki dalang. Jadi selain sebagai pegawai kecamatan,
Abu Kasan dobel jabatan sebagai dalang.
Bagian berikutnya adalah
filosofi Abu Kasan tentang sekelilingnya, alam dan lingkungannya. Abu Kasan
menjalankan fungsi sebagai pegawai yang baik, pelopor pelestarian lingkungan,
dan pelindung ular. Ia menggerakkan penduduk untuk mempersiapkan desanya
mengikuti lomba desa se kabupaten.
Sisi lain, mantra ular itu membuatnya mampu membaui bangkai ular, dimanapun
berada. Ular mati di tanah, ular mati di baskom, ular mati di penggorengan atau
ular yang sudah jadi abon! Asal ular itu mati, dia akan pontang panting
menguburnya. Bahkan jika perlu, memborong potongan-potongan daging ular yang
dijual tukang obat! Kemana-mana, Abu Kasan membawa sekop. Jaga-jaga kalau harus
menggali lubang kubur bagi ‘sahabat’nya.
Sebab cintanya, Abu Kasan membentuk komunitas penyayang ular.
Kisah selanjutnya mengalir, antara karir pendalangan, karir kerja, dan
kisah asmara. Termasuk situasi politik desa. Partai Randu, partai berkuasa,
mencoba menariknya menjadi juru kampanye bahkan caleg. Abu Kasan menolak.
Partai Randu memintanya mendalang dengan pesan sponsor tertentu. Abu Kasan
emoh. Abu Kasan memutuskan mendalang bagi laawan politik Partai Randu, dengan berbagai alasan.
Abu Kasan dimutasi. Dipindah. Pak Camat juga kena awu anget. Penerimaan
Abu Kasan tetap sama: lugu, lucu, juga tegas.
Terkait kisah asmaranya, tak ada bumbu-bumbu romantisme yang alay. Tak
ada penggambaran rindu yang meledak-ledak. Semuanya cool. Sedikit terasa
membosankan, tapi justru itu uniknya. Sang pujaan hatinya turut memberikan saran, usul. Sesekali ngambek dan bikin Abu Kasan kelabakan.
BUDAYA JAWA DAN TAUHID
Penulis memasukkan nilai-nilai tauhid dengan cara yang
sangat halus, dan alamiah. Pergolakan batin Abu Kasan mengenai mantra yang
dikuasainya mendapatkan jawaban melalui pengalaman menemui, menanyai dan
memikirkan. Tidak banyak keluar dalil-dalil tentang syirik secara vulgar.
Filososfi
alam dalam budaya jawa dijelaskan gambling. Tembang-tembang di maknai dengan
lugas, dan dalam. Dunia pendalangan menampilkan jenis lakon, tokoh, dan
ceritanya. Pembaca disuguhi informasi seputar budaya Jawa ndeso secara
apik dan manis.
Alur
hidup nriman, tenang, harmoni,
tersaji dalam buku ini. Konflik-konflik sosial mengarah pada satu alur: tetap
guyub, dan legowo.
A LITTLE BIT BORING, BUT...
Ini memang bukan novel pop. Bukan jenis cerita
yang mengharu biru. Jadi, jangan berharap akan disekap perasaan haru, mangkel, akibat
drama-dramanya. Lurus saja, sesekali tertawa geli, gemas dengan Abu Kasan.
Geleng-geleng kepala, mesakne sebab dia didholimi. Takjub karena dia
lempeng saja. Genit sang kekasih juga genit lugu. Mangkel-mangkelan, purik.
Membaca
halaman demi halaman melemparkan saya pada suasana desa dimana saya tinggal
dahulu. Dermolen, pasar malam, kantor kecamatan, pasar desa, dokar.
A
little bit boring, but for me, it sounds great.
Lha, terus piye sama kekasihnya? Baca sendiri, deh. Yang anteng, tenang, jangan buru-buru.
Tidak ada komentar: