PEREMPUAN BERTUDUNG KERTAS

Minggu, Maret 10, 2019


“Orang-orang ini hebat hebat ya,” kata Bu Devi, guru Bahasa Inggris dari Batam. Saya juga mbatin begitu. Coba lihat, mereka terpilih dari jutaan guru, dan mendapat kesempatan menuntut ilmu tiga pekan langsung dari para profesor.

“Saya gak pede,” keluh saya paa Bu Ahrisah, sahabat guru Bahasa Inggris di sekolah.
“Kenapa?”
“Mampukah saya mengikuti perkuliahan dengan baik? Pendengaran saya agak lemah. Perkuliahan di sana pasti menggunakan Bahasa Inggris. Bagaimana jika tidak maksimal?”
“Tidak apa apa, pasti bisa diatasi,” Bu Ahrisah membesarkan hati.
“Sudah lama tidak mengikuti kuliah, lingkungan akademis pasti berbeda dengan keseharian di sini. Bisakah saya mengikuti ritmenya? Sudah banyak teori-teori yang hilang dari ingatan,” saya masih mengeluh.
“Ah, pasti bisa menyesuaikan. Awal terasa sulit, wajar. Nanti juga beradaptasi dan mengikuti iramanya,” kata Bu Ahrisah lagi. Make sense, thank you, Bu Ahrisah. You are my angel.

Nah, kalimat bu Devi di atas memunculkan was-was kembali. Memang tampak sekali para guru yang hadir hebat dan berkualitas. Saya mah siapa? Guru biasa yang mengajar di SMK di kota kecil. Sekolahnya memang sekolah besar, jika dilihat dari jumlah murid dan luas areanya. Jumlah siswanya saja 1700 an orang, areanya 3.200 meter persegi. Luasnya cukup bikin pegal kaki jika harus berjalan kaki dari satu sudut ke sudut lain. Beberapa guru memilih naik motor jika berpindah dari kelas ujung barat ke ujung timur. Lebih singkat dan menghemat tenaga. Saya sendiri lebih suka berjalan. Hitung-hitung berolahraga. Alasannya tampak bagus. Makna dibaliknya adalah, saya pemalas, jarang olahraga. Sebab itu momen mengajar jadi ajang olahraga. Hehe.
Mas Budi menyemangati saya dengan bercermin pada pengalamannya dikirim ke Jepang tahun 2018 lalu.
“Banyak kunjungannya, jalan-jalan. Dinikmati saja, jangan dibuat beban,” katanya. Mind set saya putar pada: ini acara santai. Okehlah.
Ketika jadwal dibagi, makbedunduk saya mulas.
“Acaranya seriuuuussss,” saya kirim WA Mas Budi.
“Dinikmati saja, jangan tegang, jangan jadi beban. Nikmati dengan santai, jaga makan, dan jangan terlalu capek, ya,” itu balasan Mas Budi.
“Acarane medeni,” saya kirim gambar jadwal pada salah satu sahabat. Dia kirim emotiicon tertawa, dan menyemangati. Baiklah, tak ada pilihan lain, kecuali memenej semua energi negatif yang mulai mengambil alih kegembiraan.

Kelas pertama berjalan. Saya banyak mengamati saja, sekaligus memberi ruang pada diri sendiri untuk beradaptasi. Jam biologis perlu penyesuaian. Shubuh di Malaysia menjelang pukul enam setengah, eh setengah tujuh. Jadi ketika saya gelagapan bangun, menengok jam (pukul lima pagi saat itu), dan merasa kesiangan, perasaan kesiangan itu perlu direvisi. Tidur pukul sebelas malam dan menganggap itu terlalu larut, juga perlu direvisi. Tapi ternyata tidak mudah. Tetap saja bangun dini hari, dan jam sembilan malam sudah mengantuk. Hal lain lagi, saya tidak tahan AC. Ruang gerak saya dari kamar ber-Ac, ke bis ber-Ac, dan kelas ber-Ac. Ndeso, ya. Begitulah eikeh.
Saat saat tanpa AC, sungguh saya nikmati. Hari-hari awal, fisik harus terjaga betul. Saya memilih tidur cepat, meminum berbagai suplemen (susu kambing, sari kurma, vitamin C, temulawak, dll). Terasa beraaaat, sebab bolak-balik masuk angin. Hari ketiga saya diare. Alhamdulillah, tetap kudu semangat! Semangat mondar-mandir ke WC. Haha.

Kembali ke kelas, yuk.
Sebagaimana biasanya, ada sesi diskusi kelompok. Lalu presentasi. Salah satu latihan dan diskusi kelompok adalah materi Compare and Contrast. Kami diminta membuat teks. Sebelum teks disusun, terlebih dahulu dibuat kerangka dalam bentuk tabel. Bagian persamaan dan perbedaan disebutkan secara detil, disertai dengan data yang mendukung . Kami mendapatkan beberapa lembar kertas minyak. DI Indonesia, kertas itu dulu saya kenal sebagai kertas alas roti kukus atau kue mangkok. Ternyata Bapak profesor menyebutnya sebagai kertas mahyong.
“Apa hubungan kertas ini dengan judi mahyong?” Bisik salah satu peserta. Apa, ya? Perlu ditanya ke Profesor,kah? Ah, saya mah gak berani tanya begitu. Sok atuh, tanya sendiri saja!
Apakah ada yang berani tanya? Ooooh, tentu...tidak!

Tugas presentasi itu berlangsung hingga keesokan hari. Kami diminta membuat naskah baru. Kertas kerja kemarin, sebagianya kami ambil kembali. Jadi ada satu dua kelompok yang kebingungan menaruh kertas kertas itu sebab tidak muat di meja.
Beberapa menit kemudian, saya tengah berbincang dengan rekan sekelompok, lalu menoleh ke belakang. Saya tertawa tertahan, lalu mengambil hape. Cekrik! Dapat deh, gambar unik dan antik. Jika di jagad film ada judul ‘Perempuan Berkalung Sorban’, di kelas kami ada pelaku perempuan bertudung kertas!


Ternyata bukan cuma saya yang mengambil gambarnya. Ada Bu Arni yang juga memotret dari sisi kiri. Hihi.
Jadi gembira nih, melihat semangat perempuan bertudung kertas itu!

Pemeran lakon 'Perempuan Bertudung Kertas' itu bernama Ike Hikmawati adik angkatan d kampus dahulu. Mengajar di SMAN 19 Garut. Kami dipertemukan di acara ini setelah sekian belas tahun berpisah. MasyaaAllah. Masih seperti dulu: lincah dan jail! Salah satu bukti kejailannya adalah dia menfoto kami ketika kami tertidur di bis, dalam perjalanan pulang dari Genting Highlands. Jangan tanya pose-posenya. Tanpa editan, asli!
Tidak saya sertakan foto lainnya. Biarlah itu menjadi kenangan yang bersangkutan. Hihi (ketawa jahat).


Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.
Berjaya Time Square East, lantai 41 kamar 4; pukul 15.38 waktu Malaysia.

3 komentar:

  1. That's good idea, bu Ike ! Laying paper on head. Bu Umi, glad to see you excited and sound. I am wondering to know the difference between the words "compare and contrast". Wah, the discussion is really exploration, I think. Semangat bu.

    BalasHapus
  2. Amazing. You make me jealous. I like the way you write. It'so natural. It's like chatting. Simple and exciting. Hmm... I'm still learning how to write well

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.