HAPPY READING!

Sabtu, Oktober 28, 2017


CANCUT TALI WANDA!
Perpus di sekolah saya tidak besar. Untuk melayani lebih dari 1500 siswa, kurang memadai. Tapi, mendingan jika dibandingkan dengan SMK di Jombang. (Aih, mencari pembelaan!)
Gedungnya nyaman, ber-ac. Terletak di jajaran gedung bagian depan sehingga mudah dijangkau.
Mudah dijangkau, bukan berarti sangat ramai setiap hari.

Awal diamanahi, gedung itu tenang, cenderung sepi. Buku-buku fiksinya, maaf, sebagian jadul. Tidak menarik. Yang banyak adalah buku pelajaran.
Ada teman, seorang wanita pengusaha yang gila buku, mampir ke sekolah dan menemui saya di perpus. Dia duduk diantara tumpukan buku paket. Menoleh kesana kemari, tanpa berkomentar apa-apa. Lalu malam harinya, dia mampir ke rumah. Kami berbincang di ruang perpus.
"Perpusmu ini, jauh lebih keren daripada perpus sekolahmu! Masa perpus sekolahmu isinya banyak buku paket!" katanya sambil tertawa.
Wah, saya malu. Dikomentari begitu oleh pengusaha yang sekaligus kutu buku macam dia, serasa dipukul telak. Gedung sekolah yang megah, masa tidak berbanding lurus dengan kualitas buku-buku perpusnya?

Komen kedua, yang isinya mirip begitu, datang dari suami saya. Suatu malam beliau antar saya ambil barang yang tertinggal di perpus. Saya menuju komputer, beliau diam. Terpaku di bagian tengah perpus, memandang sekeliling.
"Buku paket mulu ini? Masa isinya lebih banyak buku paket?" komentarnya sambil tertawa.
"Eeeh, ini mah mendingan dari sekolah anu dan anu," kata saya.
"Ya, tetap aja, aneh," beliau tertawa lagi.

Ya deh, dibanding dengan sekolah tempatnya mengajar (SD!), perpus sekolah saya kalah jauh. Jauuuh sekali. Baik dari koleksinya, maupun dari minat baca siswanya. Di sekolah suami saya (SD Al Hikmah Surabaya), perpustakaan sekolah disetting sedemikian rupa hingga menarik. Minat baca siswanya juga mantap! Iklim budaya literasi ditanam sejak dini.
Nah, dari sini, saya punya apologi. Murid saya kan tingkat SMK, sudah melampaui jenjang SD, SMP. Mestinya nih, penanaman minat baca itu sejak SD. Kami yang di SMK sekarang memetik buah budaya literasi yang 'gagal panen', akibat gagal pembibitan dan gagal perawatan. Jadi, kalau sekarang saya 'empot-empotan' ngajak mereka baca, wajar, kan? Bisa diubah, tapi butuh tenaga ekstra.

Sebentar, kalau pemirsa tahu SD Al Hikmah, mungkin akan komen : " Oooh, sekolah itu. Wajar dong perpusnya bagus. Bayarnya mahal!"
Eit, jangan salah.
Budaya literasi dalam sekolah tidak ada kaitannya dengan mahal tidaknya sekolah. Saya juga pernah lihat sekolah mahal, tapi perpusnya....menyedihkan. Compang camping, raknya jadul, bukunya kusut. Sudah gitu, nyelip di ruang guru, teronggok merana. Hiks. Sementara ada sekolah sederhana yang anak-anaknya gila baca.

Budaya literasi bukan persoalan fasilitas. Ini persoalan minat dan mental.
Betapa banyak orang-orang terkenal yang tumbuh dalam keterbatasan, tapi bisa jadi sosok yang gila baca. Melahap apa saja, dari baliho, brosur, hingga bungkus cabe!

Kembali ke persoalan perpus. Mendapati banyak tantangan, saya penasaran.
Baiklah. Mari mulai. Cancut tali wanda!
Tahu maknanya? Nggak? Googling sana.

DUKUNGAN KEPALA SEKOLAH
Alhamdulillah, kepala sekolah saya termasuk yang mendukung perkembangan perpus. Tahun kedua, novel bertambah. Rak buku dipenuhi. Kami buat Duta Perpus, perwakilan masing-masing kelas X. Mengapa kelas X? Sebab kelas XI mulai praktik kerja industri selama 3 bulan. Sementara kelas XII sudah disibukkan dengan persiapan UN.

Sekolah mengundang tokoh dari luar sekolah untuk memotivasi siswa agar suka membaca dan memanfaatkan perpustakaan.

Sekarang perpus kami lumayan ramai. Fasilitas gedung ditambah dua lokal. Belum memadai jika dibandingkan dengan jumlah siswa, tapi itu lebih baik. Semua perlu proses, bukan?

"Boleh pinjam dua, Bu?"
"Boleeeeeh. Mau cari buku bagaimana?"
"Cari novel inspirasi, biar semangat bu."
"Ini nih, novel anu, isinya tentang itu. Atau cerita ini, yang mengisahkan begini. Atau yang ini, bagus nih. Novel terjemahan yang best seller."
"Kalau ini, isinya apa, Bu?"
"Oooh, itu bla bla bla bla. Bisa juga baca inu, kisah iti."
"Pinjam ini saja, Bu."
"Baik, sini."

Saya menuju komputer. Lalu membuka bagian sirkulasi, dan menginput id dan membarcode buku.
"Boleh pinjam lebih dari dua, Bu?"
"Boleh."

Begitu kurang lebihnya.
Atau begini.

"Bu, novel Dilan 1990 kok tidak ada?"
"Masih dipinjam."
"Kemarin dipinjam juga. Belum kembali?"
"Sudah, lalu ada yang pinjam lagi."
"Kapan tanggal pengembalian? Siapa yang pinjam?"
"Sebentar....Nah, yang pinjam fulanah, jadwal pengembalian tanggal sekian."
"Kutungguin, aaah."
"Nih, sudah selesai. Bisa dibawa pulang." Saya menyodorkan buku.
"Terima kasih, Buuu/"
"Sama-sama. Happy reading. Pinjam lagi yaaaa..."

Begitu. "Happy reading! Datang lagi ya!"

Tidakkah itu mengingatkanmu pada minimarket yang terkenal itu?



NOTE
Pose membacam bisa macam-macam. Ada yang duduk tegak. Ada yang bersandar. ada yang tengkurap. Seperti di rumah sendiri. Kenapa begitu? Sebab perpus kami lesehan... Tidak banyak kursi tersedia di ruang perpus utama. Doakan, semoga ke depan faslitas dan budaya literasi benar-benar tumbuh maksimal.

2 komentar:

  1. Hemmm..mksh Bund...sangat menginspirasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama...MAsih berproses, Pak Syihab. Happy reading.. Hehe

      Hapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.