TUJUH KILOMETER CINTA

Rabu, Oktober 04, 2017


KEMARIN

Dalam kelas, saya bosan. Bawa buku cukup tebal, sudah dibaca hampir separuhnya. Buku itu saya tutup. Murid-murid masih berkutat dengan tugas menjawab pertanyaan bacaan. Tentang surat. Sengaja saya beri beberapa contoh surat resmi sebagai bahan latihan. Pertanyaan model HOTS, High Order Thinking Skill. Katanya sudah gak jamannya lagi kasih pertanyaan yang jawabannya tinggal dicari di teks. Mereka perlu berlatih berpikir level lebih tinggi. Jawaban-jawaban pertanyaannya tersirat, perlu berpikir dan menyimpulkan sendiri.

Menunggu ujian, atau sejenisnya, bagi orang kaya saya, bikin bete. Jika kebetulan bertugas mengawas, saya usahakan membawa buku. Reading is the best way to kill the time. Eaaa.
Jika sudah bosan membaca, saya cari kesibukan. Dan kesibukan paling asyik adalah mengusili orang lain.

Saya ambil tab. Cari kontak pacar di WA. Terjadilah pecakapan ini.

Saya : Hallo Cinta. (emot lope lope tiga biji)
Pacar : Hay.
Saya : Sedang apa?
Pacar : Ngajar.
Saya : Sammmaaaaaa.... Ih, kita kompakan yaaa? (emot kiss tiga biji). Sehatiiii.... (emot lope lope lagi empat biji)
Pacar : (emot ketawa nyengir satu, emot lope-lope satu)
Saya : (emot senyum malu-malu tiga biji)

.... Tidak ada balasan lagi. Ah, gak seru.

KEMARINNYA LAGI

"Aku capek," kata pacarku. Malam itu, kami perlu keluar untuk suatu urusan. Berdua saja.
"Pijat, gih," usul saya.
"Bunda mau tungguin aku pijat?"
"Mau aja. Kemana?"
"Mana ya?"

Motor terus melaju. Saya tidak punya referensi tukang pijat laki-laki, kecuali tetangga sebelah timur rumah kami. Berjarak dua tanah kapling, dekat saja. Kami melewati rumahnya, dan pintu tertutup serta ruang tamu sudah gelap. Berbalik lagi, kami pulang.

"Sini, aku pijitin , ya," kata saya. Jika pak pacar minta pijit, biasanya beliau agak sambat. Katanya, pijitan saya tak bertenaga.Ya iyalah, saya kan bu guru, hanya terampil mengajar. Tidak terampil memijit. Memijit badan besar pak pacar itu bikin menggeh-menggeh. Badannya liat. Otot besi tulang kawat. Eh, itu mah Gatot Kaca.

Saya mulai meneyntuh bahunya. Memijit pelan, pelan saja. Eh, dia ketawa.
"Ini pijit syaraf," kata saya.
"Menyembuhkan capek-capek," kata saya lagi.
Dia tertawa lagi. Eh, saya serius kok diketawain.

"Tukang pijit bu Umi, pijat capek-capek," saya menirukan plang nama di jalan Kusuma Bangsa. Benar bunyi plangnya begitu, saya gak ngarang.
Dia tertawa lagi. Gagal nih tukang pijitnya. Memijit supaya hilang capek, bukannya supaya ketawa melulu. Akhirnya saya berhenti. Dan tidak dibayar, tentu.


KEMARIN KEMARINNYA LAGI

Hari Ahad, 24 September 2017. Pak Pacar mengajak kami bersepeda keliling kompleks. Tidak semua anak-anak ikut, Nabila dan Najma tiduran saja. Pak Pacar di depan, anak-anak, lalu saya. Saya menggowes pelan. Sesekali mereka menunggu saya; yang ditunggu, tetap santai saja. Gak mau cepat-cepat, daripada menggeh-menggeh.

"Mbok ya agak cepetan!" kata Pak Pacar.
"Capek...," saya melet. Biarpun chasingnya masih cocok usia SMA (dilihat dari jauh), mesinnya tidak bisa ditipu. Sudah 'turun mesin' empat kali, tentu tidak sama dengan yang gres.
Hanya empat putaran, kami pulang.

Saya leyeh-leyeh di teras samping. Kaki cekot-cekot. Cuma empat putaran saja, kok yo wis senut-senut. Ini gara-gara jarang olah raga. Sudah lama tidak jogging.

Pak Pacar lewat di sebelah, membawa sepedanya.
"Kemana?"
"Keliling keluaar."
"Ikuuuut!" Saya bangkit, mengambil sepeda lagi.
Sepatu olah raga ditinggal di sekolah. Terpaksa hanya memakai sandal jepit saja.

"Agak jauh, lho," katanya.
"Gak papa."

Kami menuju selatan, melintasi rel kereta api, lalu ke jalan menuju makam Gus Dur. Jalanan cukup sepi. Matahari mulai terik, saya memasang masker wajah.
"Mau sepedaan kok takut hitam," ledeknya.

Angin mulai kencang, ke arah utara. Kaki mulai terasa berat. Lalu agak berat. Mulai beraaat. Semakin beeeraaat.
"Ya Allah, anginnya!" gerutu saya.
"Hahaha. Angin kok disalahin!" katanya.
"Perlu kambing hitam! Hhhh...hhh...hhh..."

Nafas saya mulai pendek-pendek. Hadooooh, masa' baru segini sudah keok?
Pak Pacar memperlambat laju sepeda, menjajari saya. Lalu tangannya mendorong punggung. Sekian puluh meter, dilepasnya. Ketika saya menggeh-menggeh lagi, didorong kembali.

"Dulu waktu bersepeda bareng Hafidz, akhirnya berhenti di masjid. Capek, katanya," katanya sambil tertawa.
'Terus, bersepeda sampai mana?"
"Sampai masjid saja, lalu balik pulang...."
"Mana masjidnya?"
"Itu, di depan," dia menunjuk masjid puluhan meter di depan.
"Aku juga mau berhenti disituuuu," saya berteriak sambil menggowes kuat-kuat. Angin lebih kencang, dan pedal sepeda semakin berat.

Tiba-tiba saya ingat, di ujung perempatan sana, ada penjual es degan.
"Aku mau es degaaaaaaan," saya berteriak lagi.
"Hahaha, olah raga sebentar sudah minum es!" Ah, biar saja! Ayo sm

Saya menggowes lagi, lagi, lagi. Dan angin bertiup lagi, lagi, dan lagi. Beraaaaaaaat. Duh, mana sih perempatannya, kok gak sampai-sampai?
Itu dia, sudah dekat. Saya jadi semangat. Saya berhenti tepat di depan akses masuk. Seorang ibu tengah menata barang-barangnya.
"Belum buka, Mbak!" teriaknya. Whaaaat? Alhamdulillah...

Pak pacar memandang saya tersenyum. Sorot matanya seperti kasihan. Eh, penuh perhatian.
"Gimana?" tanyanya. Saya pikir dia mencemaskan saya. Mungkin khawatir saya kenapa-kenapa. Kami lupa tidak bawa air minum.
"Kita putar sana, ya?" Tangannya menunjuk arah timur.

Kami melanjutkan perjalanan. Sesekali dia mendorong saya, memastikan saya tidak kelelahan. Kami berbelok ke arah perkampungan. Jalan desa itu tembus ke arah jalan semula, menuju rel kereta api.
"Itu es degan! Berhenti?" tanyanya. Tentu saya mau. Haus, bo.

Kami duduk berhadapan. Dia membuka hapenya.
"Sebelas kilometer, kita sudah bersepeda sejauh itu. Eh, salah. Bukan sebelas. Tujuh kilometer!" Dia sibuk mengamati track di hapenya. Tangannya sibuk mengusap layar.

"Eh, bunda ultah ya?" Wajahnya beralih memandang saya. Matanya tersenyum, bibirnya tersenyum. Ultah? Eh, iya. Hari ini tanggal kelahiran saya.
"Aku lupaaaaaa. Selamaaaaaaat!" Dia tertawa kecil. Saya tertawa. Dia memang sering lupa hari kelahran kami. Sebab baginya, ulang tahun itu tidak penting.

Apakah dia tidak peduli?
Aih, dia sudah melakukan banyak hal. Sepanjang pagi ini, berapa kali dia dorong saya bersepeda, memandang saya dengan perhatiannya yang khas, mencemaskan kelelahan saya.
Tujuh kilometer cinta, dipagi ini, sudah lebih dari cukup dibanding dengan sekedar ingat hari ulang tahun.

Kami merayakan cinta, dengan dua gelas es degan tanpa gula. Sebab cintanya sudah manis luar biasa!

*Kalau Pak Pacar membaca tulisan ini, pasti ia akan bilang," Lebay, dasar penulis!"
Dan saya cukup bilang: "Ai laf yuuuuuu,muuuaaaah!"
Mungkin dia hanya akan memanyun-manyunkan bibirnya. Tanpa muah-muah.


1 komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.