OMELANKU

Jumat, Januari 01, 2016


 (BOBO nomor entah berapa)

Namaku Ade. Aku duduk di kelas lima. Aku pintar dan menyenangkan, kata teman-teman. Tapi kata sahabat dekatku, aku menyebalkan jika sudah mengomel. Tidak habis-habis, katanya.
“Ayo, upacara sebentar lagi. Cepat!” Mia  mendorong-dorongku. Aku menumpuk-numpuk tas di sudut tenda dan segera bergegas keluar. Mendung menutupi matahari. Semoga tidak turun hujan, agar acara kemah ini berjalan lancar.
Kemah liburan se-kabupaten ini akan berlangsung tiga hari. Walaupun musim hujan, aku tetap semangat. Semalam Ayah dan Bunda membantuku menyiapkan segala perlengkapan.
“Sebagai ketua, Ade akan belajar banyak hal. Memimpin, menyayangi, melindungi, itu tugas ketua,” kata Ayah.
Memimpin, menyayangi, melindungi. Sepertinya tidak terlalu berat.
“Dan memaafkan,”tambah Bunda,”jangan suka mengomel.”
Aku cemberut. Aku tahu Bunda menyindirku.
“De, tolong pegang ini. Aku mau ambil air  dulu!” Mia menitipkan kamera digitalnya. Ia berlari membawa ember besar  menuju kran air.
Aku menunggu di depan tenda. Tiba-tiba dari pengeras suara terdengar panggilan untuk  seluruh ketua regu. Mia sudah datang dengan membawa ember berisi air.
“Kamera kamu!”aku menyodorkan kameranya.
“Aduh, aku gak bisa bawa. Titipkan teman-teman saja, ya,” kata Mia sambil berlalu.
“Ini, tolong bawa dulu. Nanti berikan Mia,” aku memberikan kamera itu pada salah satu teman yang ada di depan tenda, kemudian berlari.
Siang hari, Mia mendekatiku.
 “De, kameraku mana ya?” Mia bertanya.
“Lho, tadi sudah aku titipkan,” kataku.
“Pada siapa?”
Aku berusaha mengingat-ingat.
“Siapa, De?” desak Mia.
 Aku diam. Masih mengingat-ingat. Ya ampun, bagaimana ini? Kenapa aku sampai lupa siapa  yang aku titipi tadi?
“De, diingat-ingat dong. Besok pagi ada lomba fotografi, lho! Kalau tidak ada kamera itu, aku pakai kamera siapa?” Mia tampak bingung.
“Aku tanya teman-teman dulu, Mia.”
Mia hanya mengangguk.
Aku menanyai teman-teman kelompokku. Tidak ada satu pun yang mengaku menerima kamera Mia dariku.
 “Maaf, Mia. Aku lupa pada siapa menitipkan kameramu,” sesalku.
“Kamu harus carikan kamera pengganti, kalau begitu. Supaya besok kita tetap bisa ikut lomba fotografi,” kata Mia. Untunglah salah satu kakak pembina mau meminjamkan kamera miliknya.
Malam ini hujan deras sekali.Tenda kami kebanjiran. Kami harus pindah ke tenda panitia. Kami memindahkan tas-tas, menggulung tikar dan mengamankan  barang-barang lainnya.
“De, kameranya ada di sini!” Mia tiba-tiba berteriak kencang sekali. Ia mengacungkan sesuatu.
“Dimana kamu temukan?” tanyaku.
“Disitu, diatas tumpukan tas-tas,” kata Mia.
“Siapa yang menyimpan?”
Mia mengedikkan bahunya. Ia mengikutiku menuju tenda panitia. Kami menyusun tas-tas supaya rapi. Setelah selesai, kami duduk-duduk.
“Tidak mungkin kameranya jalan sendiri, bukan?” tanyaku penasaran.
“Ya nggaklah!” Mia menyahut sambil tersenyum.
“Pasti ada yang sengaja tidak mau mengaku,” aku mulai mengomel.
“Mestinya yang menerima kamera ini bilang terus terang, tidak usah berbohong. Kalau kameranya benar-benar hilang, kan aku yang harus ganti?”
Mia diam saja.
“Enak saja dia! Tadi siang santai-santai, aku kalang kabut cari-cari kamera. Tidak bertanggung jawab!” omelanku makin jadi.
“Jadi pramuka itu kan diajari tanggung jawab. Apa gunanya jadi pramuka kalau penakut dan pengecut! Sudah saja, berhenti jadi pramuka,” aku masih belum puas.
“Sekedar mengaku, tidak berat, kan? Kalau kemudian lupa dimana menaruhnya, bisa aku bantu mencari. Yang penting mengaku dulu! Kalau saja aku tahu siapa yang menerima kameramu, pasti aku marahi habis-habisan!” aku meluapkan kejengkelanku. Coba kalau kamu jadi aku, pasti  kesal juga, kan?
“Iya, kamu betul!” Mia menjawab dengan semangat.
“Pramuka itu, memang dilatih untuk bertanggung jawab, cekatan, trampil..,” katanya lagi.
“Jangan pengecut!!!” selaku. Dengan jengkel, tentu.
“Iya, pasti. Juga dilatih untuk bersabar dan memaafkan..,” Mia sekarang memandangku.
Aku terdiam. Mia sedang menyindirku...
“Memaafkan, De. Yang penting kameranya sudah ketemu. Kamu mengomel begini tidak ada gunanya,” suara Mia pelan.
Aku menundukkan kepala dan tetap diam. Takut bila sudah membuka mulut, aku akan mengomel lagi. Jadi ingat pesan Bunda semalam. Baru semalam, kenapa aku sudah lupa?


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.