WAAAH, BANYAKNYA!

Rabu, Januari 13, 2016
(Catatan lima tahunan  lalu, 19 Oktober 2011)

Jika bepergian sendiri, saya suka ge-er. Seperti ketika ke Bandung beberapa bulan lalu. Saya memakai rok putih dan kaos hijau muda. Kerudung warna putih, dan membawa tas ransel. Ketika kereta telah sampai di stasiun Bandung, seorang Ibu yang duduk di seberang saya bertanya,"Kalau mau naik taxi, ke sebelah mana ya?"
"Ke utara saja, Bu," kata saya, sambil menunjuk ke arah utara."Mari sama-sama, saya juga ke sana."

Berjalanlah kami beriringan.
Sang Ibu bertanya " Kuliah dimana?"
"Saya mau jemput anak saya, Bu," jawab saya sambil tersenyum geli.
"Ah? Masa? Saya kira mahasiswi," katanya lagi. Dia menatap saya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Berapa usia anaknya?" tanyanya lagi.
"Empat tahun, Bu," jawab saya.
"Anak pertama?" dia  bertanya lagi. Sesekali saya melihat dia mencuri-curi pandang, menatap  saya diam-diam.
"Anak ketiga, Bu. Anak saya empat," saya menjawab santai.

Tiba-tiba ibu itu berhenti. Memandang saya lagi dari ujung kaki hingga ujung rambut.

"Masa empat? Berapa usia Anda?" tanyanya lugas. Saya nyengir. Asli, kaget dengan keterkejutannya. Juga dengan kelugasannya.

"Saya kelahiran tujuh dua, Bu."
"Saya tujuh satu. Beda setahun dong... Tapi Anda kok tampak jauh lebih muda!" katanya lagi. Lucunya, dia mengatakan itu sambil tangannya bergantian menunjuk badannya dan badan saya.Hehehe. Untung saya gak terbang tiingggiiii... Tapi hidung saya kembang kempis, deh! Hehe.

Nah, kejadian nyaris sama berulang. Saat akan halal bihalal RT, saya memakai baju yang baru saya beli dari teman. Saya suka modelnya. Sederhana, dipadu dengan rok maxi hitam jadi tampak anggun. Berjilbab  hitam dan dipadu dalaman warna putih.

Kami berjalan beriringan. Saya dan Mas Budi, anak-anak berjalan di sisi kami berdua. Di depan rumah salah satu tetangga, tampak sepasang suami isteri  dan satu anak kecil bersiap naik sepeda motor. Suami isteri  itu memandangi kami. Sang isteri malah urung naik ke boncengan. Dia berbalik memandang kami hingga kami  mendekati mereka.

"Itu anaknya semua?" katanya sambil menunjuk anak-anak. MAs Budi tertawa.

"Semua anaknya?" Ibu itu masih bertanya.

"Iya, Bu, ke-empatnya anak kami," akhirnya saya yang menjawab. Karena mas Budi sibuk tertawa-tawa. Ibu itu memandang saya agak lama.

"Monggo, Bu," sapa saya.

"Ssst...paling Ibu itu heran, cilik-cilik gini, kok anak Bunda banyak!" bisik Mas Budi jail. Hahaha, kami tertawa-tawa berdua.

Di tempat halal bihalal, saya digoda ibu-ibu. Sambil  menunjuk Nabila, mereka bertanya iseng" Mbak Umi, ini adiknya yaa?"

Beranak empat, kata teman saya, termasuk 'beranak banyak'. Entahlah, saya bahkan merasa, punya anak empat  tuh sebenarnya kurang banyak. Inginnya 5, 6, atau 7. Berasa berisiknya. Hehe.

Suatu malam, saya membawa keempat anak ke  alun-alun. Tanpa MAs Budi, karena Mas Budi sedang sakit. Sengaja saya bawa anak-anak ke alun-alun agar  Mas Budi bisa istirahat tenang.

Di alun-alun, beberapa kali saya dipandangi dengan aneh oleh ibu atau  bapak yang mengantar anaknya bermain. SAtu dua orang bahkan berbisik agak keras "anake akeh"... Hehe. Bisik-bisik  yang terdengar mah  bukan bisik-bisik, yaa?

Kami pulang naik becak. Satu becak dinaiki bersama. Bertumpuk-tumpuk. Hafidh dan Zahra tertawa-tawa sambil memegang mainan lele dan ikan  kokinya.

Ketika akan menyeberang, kami berpapasan dengan sepeda motor matic. Si bapak pengendara matic itu  bengong memandang becak kami.

"Waaaa....Banyaknyaaaaa..." katanya dengan mimik lucu.

 Hahahaha. Asli, saya tertawa! Ekspresinya itu lho!

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.