KENAPA KAU MENCINTAIKU?
11 Januari
2011 jam 6:34
Saya suka
sekali menanyakan ini: "Kenapa dulu memilihku?" Atau " kenapa
mencintaiku? Apa alasanmu?"
Menanyakan
hal tersebut pada Mas Budi, saya sering tertawa-tawa mendapatkan jawabannya
yang diluar dugaan. Kadang-kadang sembari jengkel, gemas, dan takjub: kok ada
orang yang secuek ini, ya?
Malam
kemarin, saya kembali menanyakan hal yang sama. Nah, barangkalai Anda yang
takjub dengan saya: sudah tahu akan dijawab begitu, kenapa masih tanya-tanya
sih? Hehehe...Saya menanti keajaiban: siapa tahu, akan muncul jawaban yang
sesuai dengan harapan! (Ah, kayaknya impossible!Hihi).
"Kenapa
Ayah memilih Bunda?" tanya saya.
"hehehe...Takdir!"
jawabnya, tandas. Gubraakkk! Hihi. Oh, benar kan?
"Jawaban
buruk. Bilang dong, apa alasannya...," rayu saya. Mas Budi tertawa
lagi. Tangannya memegang wajah saya erat-erat, lalu memandang saya lama. Lalu
tertawa. Ah, menyebalkan!
"Kenapa
ya?" dia malah balik bertanya. Ih, menjengkelkan, bukan?
"Apa
kek, karena Bunda begini, begini, begini, gituu..," saya memaksa.
"Bunda
cerewet, itu alasannya," katanya sambil tersenyum. Ah, alasan cerewet,
tidak membuatku tersanjung. Kasih alasan yang membuatku tersanjung, dong.
"Kenapa?
Minta digombalin ya?" Mas Budi menebak. Saya hanya tertawa saja. Malu mau
mengakui, tapi diam-diam menyetujui tebakannya. Jaim, bo!
"Kasih
alasan lain, kenapa pilih Bunda. Kan kata Ayah, Ayah suka perempuan tinggi, lha
Bunda gak tinggi... Kenapa dipiih?" saya memancing. Saya sungguh berharap,
Mas Budi akan bilang (misalnya) : karena Bunda lincah, karena Bunda ceria,
karena Bunda kreatif... (Ini copy paste..hehehe).
"Soalnya
gak ada lagi!" kata Mas Budi sambil menatap saya lekat-lekat, lalu tertawa
lagi. Aaahhhhh...sungguh buruk jawabannya! Gak ada lagi? Berarti terpaksa
memilih. Berarti gak ada pilihan. Hiks....
"Jeleeekkkk!"
saya manyun. Asli manyun Jangan bayangkan jeleknya, saya aja menghindar
lewat depan cermin kalau lagi manyun.
"Hehehe..Lha,
Bunda mengharap jawaban apa?" MAs Budi masih menggoda. Saya tahu, kalau
sudah begitu ekspresinya, dia tak bisa serius. Tak bisa sungguh-sungguh.
Artinya, jangan mengharap lebih, nanti kecewa!
"Apa
kek, yang ada alasannya, gitu," kata saya. Ngeyel itu sebagian dari jihad!
"Hmm...hmm...
Aku sudah lupa! KAn sudah sebelas tahun lalu!" jawabnya santai.
Gubraaakkkkkk!
Oh, betapa ajaibnya hidup! Saya yang sangat ekspressif, diberi pendamping yang
begitu cuek! Alhamdulillah...
(Akhir
pembicaraan itu, kami sama-sama tertawa. Saya mentertawakan kengototan saya,
dia mentertawakan kepenasaran saya. Judulnya tetap: saya kalah!)
Tidak ada komentar: