KENAPA KAU MENCINTAIKU?

Minggu, Juli 07, 2013
11 Januari 2011 jam 6:34
Saya suka sekali menanyakan ini: "Kenapa dulu memilihku?" Atau " kenapa mencintaiku? Apa alasanmu?"
Menanyakan hal tersebut pada Mas Budi, saya sering tertawa-tawa mendapatkan jawabannya yang diluar dugaan. Kadang-kadang sembari jengkel, gemas, dan takjub: kok ada orang yang secuek ini, ya?
 Malam kemarin, saya kembali menanyakan hal yang sama. Nah, barangkalai Anda yang takjub dengan saya: sudah tahu akan dijawab begitu, kenapa masih tanya-tanya sih? Hehehe...Saya menanti keajaiban: siapa tahu, akan muncul jawaban yang sesuai dengan harapan! (Ah, kayaknya impossible!Hihi).
 "Kenapa Ayah memilih Bunda?" tanya saya.
 "hehehe...Takdir!" jawabnya, tandas. Gubraakkk!  Hihi. Oh, benar kan?
 "Jawaban buruk. Bilang dong, apa alasannya...," rayu saya.  Mas Budi tertawa lagi. Tangannya memegang wajah saya erat-erat, lalu memandang saya lama. Lalu tertawa. Ah, menyebalkan!
 "Kenapa ya?" dia malah balik bertanya. Ih, menjengkelkan, bukan?
"Apa kek, karena Bunda begini, begini, begini, gituu..," saya memaksa.
 "Bunda cerewet, itu alasannya," katanya sambil tersenyum. Ah, alasan cerewet, tidak membuatku tersanjung. Kasih  alasan yang membuatku tersanjung, dong.
 "Kenapa? Minta digombalin ya?" Mas Budi menebak. Saya hanya tertawa saja. Malu mau mengakui, tapi diam-diam menyetujui tebakannya. Jaim, bo!
 "Kasih alasan lain, kenapa pilih Bunda. Kan kata Ayah, Ayah suka perempuan tinggi, lha Bunda gak tinggi... Kenapa dipiih?" saya memancing. Saya sungguh berharap, Mas Budi akan bilang (misalnya) : karena Bunda lincah, karena Bunda ceria, karena Bunda kreatif... (Ini copy paste..hehehe).
 "Soalnya gak ada lagi!" kata Mas Budi sambil menatap saya lekat-lekat, lalu tertawa lagi. Aaahhhhh...sungguh buruk jawabannya! Gak ada lagi? Berarti terpaksa memilih. Berarti gak ada pilihan. Hiks....
 "Jeleeekkkk!" saya manyun. Asli manyun Jangan bayangkan jeleknya, saya aja  menghindar lewat depan cermin kalau lagi manyun.
 "Hehehe..Lha, Bunda mengharap jawaban apa?" MAs Budi masih menggoda. Saya tahu, kalau sudah begitu ekspresinya, dia tak bisa serius. Tak bisa sungguh-sungguh. Artinya, jangan mengharap lebih, nanti kecewa! 
"Apa kek, yang ada alasannya, gitu," kata saya. Ngeyel itu sebagian dari jihad!
 "Hmm...hmm... Aku sudah lupa! KAn sudah sebelas tahun lalu!" jawabnya santai.
 Gubraaakkkkkk! Oh, betapa ajaibnya hidup! Saya yang sangat ekspressif, diberi pendamping yang begitu cuek! Alhamdulillah...
 (Akhir pembicaraan itu, kami sama-sama tertawa. Saya mentertawakan kengototan saya, dia mentertawakan kepenasaran saya. Judulnya tetap: saya kalah!)


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.