AYAH ODONG-ODONG
Hanya perlu sedikit
usaha sederhana, untuk membuat anak-anak kita gembira.
Hampir
setiap sore saya menjemput Mas Budi di alun-alun. Dengan mengendarai sepeda
motor, saya menuju alun-alun yang hanya berjarak sekitar 1000 meter.
Kadang
saya menjemput sendirian, kadang bersama Hafidh. Kadang Najma dan Zahra juga
ikut. Sst, anak saya berapa sih? Empat!
Hehe.
Whuaaa...membawa tiga
krucil itu selalu heboh. Ada proses tawar menawar yang alot: apakah nanti bisa belok ke tengah alun-alun
dan menyerbu tukang pancing, tukang odong-odong, tukang kereta, tukang
gelembung! Kalau dituruti terus, bisa tekor nih!
Suatu sore tadi, saya sudah disms Mas Budi; "Sudah
Mojoagung.."
Berganti pakaianlah saya dan bergegas keluar. Oh, oh, baru ingat, sepeda motor sedang dipakai orang lain. Ada sepeda motor lama, tapi sungguh saya tak berani memakainya. Sepeda mini poligon milik si sulung Nabila berdiri manis di bawah pohon mangga. Ok lah, pakai itu saja.
"Rantainya los, Bunda," kata Nabila.
"Lha,kenapa?" tanya saya heran.
"Gak tahu. Tadi pas mau berangkat aku juga baru tahu. Aku pakai sepeda yang pink," kata Nabila.
Berganti pakaianlah saya dan bergegas keluar. Oh, oh, baru ingat, sepeda motor sedang dipakai orang lain. Ada sepeda motor lama, tapi sungguh saya tak berani memakainya. Sepeda mini poligon milik si sulung Nabila berdiri manis di bawah pohon mangga. Ok lah, pakai itu saja.
"Rantainya los, Bunda," kata Nabila.
"Lha,kenapa?" tanya saya heran.
"Gak tahu. Tadi pas mau berangkat aku juga baru tahu. Aku pakai sepeda yang pink," kata Nabila.
Saya
utak-utik sebentar, rantai sepeda itu kembali normal. Saya menggenjot sepeda, melewati hall, tempat Najma
asyik main sendiri.
"Kemana?" tanya Najma tanpa menoleh. Mainannya lebih menarik ketimbang lewatnya orang cantik.
"Jemput Ayah," kata saya, sambil meluncur ke jalan depan rumah.
"Iikuuuuttt!" Najma berlari mengejar saya.
"Lha, nanti duduk di mana?" tanya saya. Tempat duduknya tak akan cukup untuk saya, Mas Budi dan Najma.
"Aku berdiri aja," katanya sambil mengejap-ngejapkan mata bintangnya. Ok lah kalau begitu.
"Kemana?" tanya Najma tanpa menoleh. Mainannya lebih menarik ketimbang lewatnya orang cantik.
"Jemput Ayah," kata saya, sambil meluncur ke jalan depan rumah.
"Iikuuuuttt!" Najma berlari mengejar saya.
"Lha, nanti duduk di mana?" tanya saya. Tempat duduknya tak akan cukup untuk saya, Mas Budi dan Najma.
"Aku berdiri aja," katanya sambil mengejap-ngejapkan mata bintangnya. Ok lah kalau begitu.
Nah,
berangkatlah kami dengan riang gembira. Sebetulnya tidak riang-riang amat,
karena kaki saya agak berat menggenjot sepeda. Sudah empat hari saya tidak
jogging, otot kaki sepertinya kaku-kaku.
Mas Budi menunggu di masjid Agung, karena saat
itu sudah adzan. Saya dan Najma langsung masuk ke masjid untuk shalat. Mas
Budi ternyata sudah menunggu dan menitipkan tas, jaket serta kantong besar
beirisi kasur lipat.
Setelah
shalat, mulailah kami pulang. Momen bersepeda bersama Mas Budi selalu saya
suka. Apalagi kalau dibonceng. Bisa memeluk pinggangnya erat-erat, sambil
menikmati laju sepeda yang tidak secepat sepeda motor. Jadi, lebih lama
sampainya. Berasa jadi Galih dan Ratna. Rooomaaantisssss....
Najma, seperti
janjinya, berdiri di palang sepeda antara sadel dan stang (hadirin, apakah
namanya?). Mas Budi menggenjot sepeda
dengan pelan-pelan. Hingga lima ratus meter, everyhting is fine. Sampai
tiba-tiba...
"Aku
mau naik odong-odong!" Najma berkata lantang. Saya menoleh ke kanan kiri.
Mencari tukang odong-odong. Malam-malam begini setahu saya tak ada tukang
odong-odong berkeliling.
"Haduuh...jangan
sekarang. Nanti di gang tujuh!" kata Ayah. Saya bingung, tidak mengerti.
Di gang tujuh juga tidak ada odong-odong juga, kan?
"Sekaraaaang!" Najma berteriak lagi. Jangan tanya bagaimana lantangnya Najma kalau berteriak. Stereo, bo!
"Haaahhh," Mas Budi mendesah lelah.
"Berrraaaaattt... Ini ada Bunda, jadi berrraaattt!" kata Mas Budi. Eh,menghina! Bobotku cuma 46 kg, dibilang berat! Ukuran ibu beranak empat, ini cukup langsing laahhh!
"Ayo, odong-odong!" Najma bersikeras.
" Di gang tujuh!" Mas Budi balas ngeyel.
"Odong-odong apaan sih?" tanya saya penasaran.
"Hadduuuhhh...," Mas Budi ngos-ngosan lagi.Ih, tersinggung deh! Saya gak geeenduuuut kook!
"Sekarang odong-dongnyaaaa!"
"Heeyyy, odong-odong apaan siiiy?"
"Haduuhh... Beeeeraaaaat!"
Bersahut-sahutan tidak jelas gitu!
"Disiiiniii," Najma semakin berteriak ketika Mas Budi membelokkan sepeda ke gang lima. Dari gang lima, ada gang kecil yang tembus ke bagian tengah gang tujuh.
"Di gang tuujuhhh," Mas Budi bertahan ngeyel.
"Odong-odong apa-aaaaan siiiy?" saya masih mengulang pertanyaan yang sama.
"Sekaraaaang!" Najma berteriak lagi. Jangan tanya bagaimana lantangnya Najma kalau berteriak. Stereo, bo!
"Haaahhh," Mas Budi mendesah lelah.
"Berrraaaaattt... Ini ada Bunda, jadi berrraaattt!" kata Mas Budi. Eh,menghina! Bobotku cuma 46 kg, dibilang berat! Ukuran ibu beranak empat, ini cukup langsing laahhh!
"Ayo, odong-odong!" Najma bersikeras.
" Di gang tujuh!" Mas Budi balas ngeyel.
"Odong-odong apaan sih?" tanya saya penasaran.
"Hadduuuhhh...," Mas Budi ngos-ngosan lagi.Ih, tersinggung deh! Saya gak geeenduuuut kook!
"Sekarang odong-dongnyaaaa!"
"Heeyyy, odong-odong apaan siiiy?"
"Haduuhh... Beeeeraaaaat!"
Bersahut-sahutan tidak jelas gitu!
"Disiiiniii," Najma semakin berteriak ketika Mas Budi membelokkan sepeda ke gang lima. Dari gang lima, ada gang kecil yang tembus ke bagian tengah gang tujuh.
"Di gang tuujuhhh," Mas Budi bertahan ngeyel.
"Odong-odong apa-aaaaan siiiy?" saya masih mengulang pertanyaan yang sama.
Keluarga
yang aneh, bukan?
"Lihat saja nanti!" Akhirnya, Mas Budi menjawab pertanyaan saya juga.
"Odong-odongnya dari sini!" Najma konsisten sekali dengan permintaannya.
"Di gang tujuh!" Dan Mas Budi juga konsisten dengan jawabannya.
"Lihat saja nanti!" Akhirnya, Mas Budi menjawab pertanyaan saya juga.
"Odong-odongnya dari sini!" Najma konsisten sekali dengan permintaannya.
"Di gang tujuh!" Dan Mas Budi juga konsisten dengan jawabannya.
Ketika
berbelok ke gang tujuh, Mas Budi menepi dan berhenti. Saya mengintip dari balik
pinggang Mas Budi. Najma duduk di atas pangkuan Mas Budi sambil tertawa-tawa.
Mulailah
Mas Budi menggenjot sepeda kembali. Nah, sekarang saya mengerti. Dengan duduk
dipangkuan begitu, Najma akan bergerak naik-turun sesuai irama genjotan kaki
Mas Budi di pedal sepeda. Dilihat sepintas, memang mirip dengan gerakan badan
anak-anak kalau naik odong-odong!
“Hihihihi…,” saya tertawa geli.
“Hihihihi…,” saya tertawa geli.
“Asyiiikk!
Hehehe...Aaasyiiikkkk!” Najma berteriak kegirangan
“Haadduuuuuuh....beeeeraaaat...beeeraaaat!” Mas Budi mengayuh kelelahan.
Nah, betul kan? Membuat anak-anak gembira itu sebenarnya mudah saja, dan sangat murah. Tak selalu harus ke mall, atau rekreasi mahal yang menyedot biaya. Odong-odong model Mas Budi bisa ditiru!
“Haadduuuuuuh....beeeeraaaat...beeeraaaat!” Mas Budi mengayuh kelelahan.
Nah, betul kan? Membuat anak-anak gembira itu sebenarnya mudah saja, dan sangat murah. Tak selalu harus ke mall, atau rekreasi mahal yang menyedot biaya. Odong-odong model Mas Budi bisa ditiru!
Tidak ada komentar: