AYAH ODONG-ODONG

Minggu, Juli 07, 2013
Hanya perlu sedikit usaha sederhana, untuk membuat anak-anak kita gembira.
Hampir setiap sore saya menjemput Mas Budi di alun-alun. Dengan mengendarai sepeda motor, saya menuju alun-alun yang hanya berjarak sekitar 1000 meter.
Kadang saya menjemput sendirian, kadang bersama Hafidh. Kadang Najma dan Zahra juga ikut.  Sst, anak saya berapa sih? Empat! Hehe.
Whuaaa...membawa tiga krucil itu selalu heboh. Ada proses tawar menawar yang alot:  apakah nanti bisa belok ke tengah alun-alun dan menyerbu tukang pancing, tukang odong-odong, tukang kereta, tukang gelembung! Kalau dituruti terus, bisa tekor nih!
Suatu sore tadi, saya sudah disms Mas Budi; "Sudah Mojoagung.."  
Berganti pakaianlah saya dan bergegas keluar. Oh, oh, baru ingat, sepeda motor sedang dipakai orang lain.  Ada sepeda motor lama, tapi sungguh saya tak berani memakainya. Sepeda mini poligon milik si sulung  Nabila  berdiri manis di bawah pohon mangga. Ok lah, pakai itu saja. 
"Rantainya los, Bunda," kata Nabila.
"Lha,kenapa?" tanya saya heran.
"Gak tahu. Tadi pas mau berangkat aku juga baru tahu. Aku pakai sepeda yang pink," kata Nabila.
Saya utak-utik sebentar, rantai sepeda itu kembali normal. Saya menggenjot sepeda, melewati hall, tempat Najma asyik main sendiri.
"Kemana?" tanya Najma tanpa menoleh. Mainannya lebih menarik ketimbang  lewatnya orang cantik.
"Jemput Ayah," kata saya, sambil meluncur ke jalan depan rumah.
"Iikuuuuttt!" Najma berlari mengejar saya.
"Lha, nanti duduk di mana?" tanya saya. Tempat duduknya tak akan cukup untuk saya, Mas Budi dan Najma. 
"Aku berdiri aja," katanya sambil mengejap-ngejapkan mata bintangnya. Ok lah kalau begitu.
Nah, berangkatlah kami dengan riang gembira. Sebetulnya tidak riang-riang amat, karena kaki saya agak berat menggenjot sepeda. Sudah empat hari saya tidak jogging,  otot kaki sepertinya  kaku-kaku.
 Mas Budi menunggu di masjid Agung, karena saat itu sudah adzan. Saya dan Najma langsung masuk ke masjid untuk shalat.  Mas Budi ternyata sudah menunggu dan menitipkan tas, jaket serta kantong besar beirisi kasur lipat. 
Setelah shalat, mulailah kami pulang. Momen bersepeda bersama Mas Budi selalu saya suka. Apalagi kalau dibonceng. Bisa memeluk pinggangnya erat-erat, sambil menikmati laju sepeda yang tidak secepat sepeda motor. Jadi, lebih lama sampainya. Berasa jadi Galih dan Ratna.  Rooomaaantisssss....
Najma, seperti janjinya, berdiri di palang sepeda antara sadel dan stang (hadirin, apakah namanya?).  Mas Budi menggenjot sepeda dengan pelan-pelan. Hingga lima ratus meter, everyhting is fine. Sampai tiba-tiba...
"Aku mau naik odong-odong!" Najma berkata lantang. Saya menoleh ke kanan kiri. Mencari tukang odong-odong. Malam-malam begini setahu saya tak ada tukang odong-odong berkeliling.
"Haduuh...jangan sekarang. Nanti di gang tujuh!" kata Ayah. Saya bingung, tidak mengerti. Di gang tujuh juga tidak ada odong-odong juga,  kan?
"Sekaraaaang!" Najma berteriak lagi. Jangan tanya bagaimana lantangnya Najma kalau berteriak. Stereo, bo!
"Haaahhh," Mas Budi  mendesah lelah.
"Berrraaaaattt... Ini ada Bunda, jadi berrraaattt!" kata Mas Budi. Eh,menghina! Bobotku cuma 46 kg, dibilang berat! Ukuran ibu beranak empat, ini cukup langsing laahhh!
"Ayo, odong-odong!" Najma bersikeras.
" Di gang tujuh!" Mas Budi balas ngeyel.
"Odong-odong apaan sih?" tanya saya penasaran.
"Hadduuuhhh...," Mas Budi ngos-ngosan lagi.Ih, tersinggung deh! Saya gak geeenduuuut kook!
"Sekarang odong-dongnyaaaa!"
"Heeyyy, odong-odong apaan siiiy?"
"Haduuhh... Beeeeraaaaat!"
Bersahut-sahutan tidak jelas  gitu!
"Disiiiniii," Najma semakin berteriak ketika Mas Budi membelokkan sepeda ke gang lima. Dari gang lima, ada gang kecil yang tembus ke bagian tengah gang tujuh. 
"Di gang tuujuhhh," Mas Budi bertahan ngeyel. 
"Odong-odong apa-aaaaan siiiy?" saya masih mengulang pertanyaan yang sama. 
Keluarga yang aneh, bukan?
"Lihat saja nanti!" Akhirnya, Mas Budi menjawab pertanyaan saya juga.
"Odong-odongnya dari sini!" Najma konsisten sekali dengan permintaannya. 
"Di gang tujuh!" Dan Mas Budi juga konsisten dengan jawabannya. 
Ketika berbelok ke gang tujuh, Mas Budi menepi dan berhenti. Saya mengintip dari balik pinggang Mas Budi. Najma duduk di atas pangkuan Mas Budi sambil tertawa-tawa.
Mulailah Mas Budi menggenjot sepeda kembali. Nah, sekarang saya mengerti. Dengan duduk dipangkuan begitu, Najma akan bergerak naik-turun sesuai irama genjotan kaki Mas Budi di pedal sepeda. Dilihat sepintas, memang mirip dengan gerakan badan anak-anak kalau naik odong-odong!
“Hihihihi…,” saya tertawa geli.

“Asyiiikk! Hehehe...Aaasyiiikkkk!” Najma berteriak kegirangan
“Haadduuuuuuh....beeeeraaaat...beeeraaaat!” Mas Budi mengayuh kelelahan.

            Nah, betul kan? Membuat anak-anak gembira itu sebenarnya mudah saja, dan sangat murah. Tak selalu harus ke mall, atau rekreasi mahal yang menyedot biaya. Odong-odong model Mas Budi bisa ditiru!

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.