HIRUK PIKUK MOS

Senin, Desember 14, 2015
Catatan Juli, 30, 2015

Pulang persiapan MOS Sabtu lalu, Nabila melungker di tempat tidurnya.
"Bangun,,Bangun.. Gimana tadi di sekolahnya?" Saya dan Mas Budi Hartono duduk di tepi ranjangnya.
Mukanya ditekuk. Air matanya menetes.
"Suruh siapkan ini," dia menyodorkan daftarnya.
Tulisan sekian halaman itu saya bolak-balik. Tidak mengerti apa maksudnya; ada berbagai rupa rumus, dan gambar.
"Apaan ini?" tanya saya. Mas Budi ikut mengamati.
"Ya itu yang harus disiapkan," kata Nabila. Air matanya menetes
"Iya, ini apa?' saya masih ngeyel, memelototi tulisannya lagi.
Mas Budi mencolek saya. "Nadanya itu!" tegurnya pada saya. Ah ya, saya mulai senewen melihatnya menangis seperti itu. Saya tertular panik dan sedih.
"Ayo dikerjakan sama-sama... Bukunya, sepeda motor laki-laki. Apa Bunda? Apa yang jadi merek buku? Honda, Yamaha, Suzuki?" Mas Budi menatap saya.
Kami saling memandang dengan mesra (apa coba!). Emang ada merek buku begitu? Hihihi.
Buntu, deh.
"Ini, rumus apa?" Saya menunjuk berbagai rumus.
"Itu ukuran name tagnya," jawab Nabila. Masih dengan wajah sendu dan suara lirihnya. Aduh, kasihan anak gadisku.
"Yang ini aku tahu caranya, yang ini aja yang belum," Nabila menunjuk satu barisan rumus.
"Ayah saja yang kerjakan," saya menyodorkan buku itu.
"Tanya mbah Google aja," kata Mas Budi, sambil mengeluarkan ponselnya. Lhaaa...
Begitulah. Satu-satu teka-tekinya dipecahkan. Nabila mendata apa saja yang sudah tersedia dan apa yang belum. Bawang putih, beng-beng, permen, buku (jawaban teka-tekinya tanya pada tetangga yang satu sekolah), pita-pita...
Mungkin dimana-mana terjadi begini: anak-anak MOS, orang tua ikut ribet dan ruwet.
"Bagian kedisiplinan bentak-bentak mulu. Sepatuku disuruh ganti, gak boleh ada putihnya," Nabila bersungut-sungut saat menceritakan itu.
"Lho, kan itu sepatu baru! Eman-eman," kata Mas Budi.
Saya suka sepatu Nabila. Warrna hitam, dengan sedikit aksen putih. Agak-agak maco gitu.
"Bagaimana kalau kita warnai dengan spidol hitam saja?" usul saya. Nabila melirik saya dengan sebal.
"Atau kita kasih lakban ya?" itu usul Mas Budi. Hihihi.
Ya, gitu deh. Hari Ahad, ketika saya sakit, Nabila dan MAs Budi yang wira-wiri menyiapkan perlengkapan Senin. Saya cuma berharap, Nabila tidak 'terkejut' dengan perbedaan kebiasaan dan budaya antara sekolahnya kini dengan sekolahnya dahulu.
Di sekolah terdahulu, lingkungannya nyaman dan aman. Tak ada MOS dengan bentak-bentak dan barang-barang aneh. Guru-guru sangat mengayomi dan melindungi serta kental dengan suasana kasih sayang.
"Belajar struggle, belajar survive. Kalau dibentak-bentak, cuekin aja, jangan dimasukin hati. Mereka punya kekuasaan melakukan itu hanya selama TIGA HARI (saya menekankan benar kata-kata itu). Setelah itu, dirimu merdeka, tidak dibawah tekanan mereka lagi!"
Itu kata saya. Provokatif, ye?
Hari pertama MOS, tidak ada air mata lagi. Hari kedua, dia mulai gembira. Hari ketiga, gembiraaaa sekali.
"Kakak-kakak tim disiplin ternyata baik-baik," katanya, sambil senyum-senyum.
Alhamdulillaahhh.
"Aku ikut jadi pengibar di upacara sekolah Agustus nanti,"tambahnya, sambil mengerling.
Wah, yang ini diluar dugaan.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.